banner 728x250

Agama Bukan Sekadar Label atau Ritual

Agama itu bukan semata ritual, pakaian, atau asesoris lain, namun jauh lebih penting dan mendalam itu pengamalan. Bagaimana agama itu diterapkan dalam hidup harian, lepas dari hanya ritual dan labeling.

banner 120x600
banner 468x60

Oleh: Susyheryawan*)

 

banner 325x300

Menarik bicara mengenai agama di bulan Puasa ini. Ada dua  hal yang melarbelakangi pemikiran ini. pertama mengenai FKUB kota tertentu yang  memberikan rekomendasi jangan membangun gereja agar keadaan damai. Kedua, soal makan di luar, selama masa puasa ini beberapa kali makan di luar, dan  menyaksikan bagaimana ritual puasa itu dijalani para saudara kita.

Tentu bahwa hal ini berdasar asumsi, bukan hasil riset dengan bertanya. Lebih dari lima pasang, laki-perempuan, juga ada yang membawa anak. mereka makan di tengah hari, asumsi bahwa si perempuan sedang menstruasi, lha lakinya? Apakah mereka beragama lain? Tidak juga    dari penampilannya.

Sekian banyak yang saya lihat, hanya satu laki-laki yang masih berpuasa, tidak makan di tempat. Ini aneka bentuk level tempat makan, bukan sekadar kelas menengah yang sudah biasa terjadi tidak menjalankan puasa. Kelas rakyat pun banyak terpampang mereka yang lagi makan.

Mirisnya, perempuan yang sedang makan itu mengenakan asesoris agamis dalam tampilannya. Sekali lagi mereka bisa saja lagi datang bulan, lha pasangannya? Mosok sih solider?

Apa kaitannya dengan hidup bersama? Jika rekan-rekan Nonmuslim mau membangun gedung peribadatan saja tidak bisa, atas nama kerukunan, kedamaian, dan sejenisnya, lha mereka yang makan di masa puasa itu apa tidak lebih buruk perilakunya? Di mana kedamaian yang mau diciptakan?

Tampilan religius tidak bisa diragukan, namun keika ibadah wajib saja masih seperti itu? Di arena publik lagi.  Sama sekali tidak ada roman malu atau sungkan, seperti hari biasa saja. Padahal sisi lain, ada pihak yang melakukan razia rumah makan yang buka. Ini jelas ironis.

Sama juga ironisnya dengan penolakan pembangunan rumah ibadah oleh jemaat atas nama kedamaian dan kerukunan, dan apa pihak lain yang memiliki rumah ibadah melimpah malah melakukan aktivitas keagamaan di trotoar dan jalanan. Apa tidak terbalik?

Agama itu bukan semata ritual, pakaian, atau asesoris lain, namun jauh lebih penting dan mendalam itu pengamalan. Bagaimana agama itu diterapkan dalam hidup harian, lepas dari hanya ritual dan labeling.

Belum lagi, jika dikaitkan dengan OTT Ade Yasin, yang menjadi penasihat para ulama. Mengerikan,    pakaian dan jabatannya sebagai penasihat ini ternyata masih tidak cukup memperbaiki moral untuk tidak maling. Kok sama sekali tidak ada demo penistaan agama ya?

Siapa yang meragukan cara beragama di negeri ini, secara ritual, masa pandemi saja tidak takut,  selalu penuh di mana-mana, parkiran membludak, namun  KPK, Kejagung, dan juga Bareskrim tetap saja kerja keras menangkap maling.  Miris.

Selain ritual, pakaian dan asesoris keagamaan di mana-mana, stiker di kendaraan, liontin dengan dasar agama, sangat mudah kita lihat di depan mata, namun pelacuran juga masih saja sangat besar. Tidak jujur, bahkan hoax seolah hal biasa, gila kekuasaan dengan menggunakan segala cara seolah sah-sah saja.

Fasisme politik oleh partai politik dengan dasar agama juga tidak kurang-kurang. Lha apa bedanya sebenarnya dengan negara sekular, atau ateis sekalipun?

Hal yang menjadi keprihatinan bersama, ini sangat serius, jangan dianggap sepele, karena yang esensial malah lepas dan mengejar yang artifisial dan remeh-temeh. Miris. Tentu saja, relatif semua agama sama, bukan menuding atau mendeskreditkan agama tertentu dalam hal ini. Benar bahwa  yang menjadi ilustrasi itu agama mayoritas, karena suka atau tidak, mereka yang banyak terlihat dan sekaligus melakukan “pelanggaran”.

_____
*Susyheryawan, pegiat literasi, pendukung tagar #WarasBernegara, #SayaSPARTAN

banner 325x300