Mungkin kita setuju, atau mungkin tidak setuju, kalau ada yang mengatakan pilkada DKI 2017 yang dimenangkan oleh Anies Baswedan dan Sandiaga Uno sebagai pilkada paling brutal dalam sejarah politik Indonesia. Pilkada DKI 2017 itu dinilai sarat dengan politik identitas.
Mau mengatakan tidakpun tidak apa-apa. Tidak setujupun tidak apa-apa. Tetapi banyak pengamat dan analis mengatakan hal itu. Sebetulnya, apa sih politik identitas itu?
Menurut Wikipedia, Politik identitas adalah sebuah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu, misalnya sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukan jati diri suatu kelompok tersebut.[1] Identitas dipolitisasi melalui interpretasi secara ekstrim, yang bertujuan untuk mendapat dukungan dari orang-orang yang merasa ‘sama’, baik secara ras, etnisitas, agama, maupun elemen perekat lainnya.
Anies dan Politik Identitas
Jika kita mengingat lagi pilkada DKI 2017, kita akan disuguhkan dengan berbagai aksi yang bukan hanya menodai demokrasi. Tetapi lebih-lebih menodai kemanusiaan. ‘Penodaan’ yang paling ekstrem yang masih kita ingat adalah banyaknya spanduk yang isinya sama. Terutama spanduk yang dipasang di masjid-masjid di seputaran Jakarta. Bunyinya kurang lebih: Masjid ini tidak mensholatkan pendukung penista agama.
Pada saat itu, penista agama yang dimaksud adalah Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok. Dan kita semua tahu bagaimana kelanjutan kisah itu. Kisah Nenek Hindun yang tidak disholatkan dan disholati menjadi kisah yang mencabik-cabik kemanusiaan kita.
Jenazah nenek Hindun ini ditelantarkan oleh warga hanya gara-gara dia memilih Ahok pada putaran pertama. Kisah ini sangat viral, terkenal se-Indonesia. Anehnya, kedua pasangan calon Gubernur saat tidak ada yang melarang hal itu. Semua mendiamkan.
Bahkan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno yang kemungkinan besar pendukungnya menelantarkan jenazah nenek Hindun ini tidak bersuara sama sekali. Seakan-akan menikmati pesta pencabik-cabikan dan penodaan kemanusiaan ini.
Tetapi semua itu sudah berlalu. Orang-orang sudah mulai menerima kejadian tersebut sebagai sebuah kisah kelam dalam sejarah perpolitikan Indonesia. Orang-orang akan mengingat bahwa di suatu masa ada kisah seorang nenek yang meninggal dan jenazahnya ditelantarkan hanya karena perbedaan pilihan politik. Sebuah kisah yang pasti tidak ingin diulangi lagi.
Anies dan Nasdem
Kisah kelam Pilkada itu menjadi titik hitam dalam sejarah politik Indonesia. Dan juga menjadi noda dalam perjalanan karier politik Anies Baswedan. Orang mulai menerima dan mencatat dalam hati bahwa dia tidak bisa kerja. Kita bisa melihat buktinya. Salah satu yang paling fenomenal adalah adanya sumur resapan di banyak jalan yang memakan korban.
Tapi dalam perjalanan waktu, kisah kelam Pilkada DKI 2017 menghiasi perjalanannya. Anies mulai dijuluki sebagai Bapak Politik Identitas. Hal ini, sekali lagi, berkaitan dengan pilkada brutal di DKI tahun 2017 yang begitu sarat dengan isu SARA.
Sebagai sebuah sejarah, pilkada DKI 2017 diharapkan menjadi pengingat dan monument untuk tidak lagi mengulangi kisah yang sama. Pelaku pilkada DKI 2017 sudah tidak mendapat tempat lagi di hati masyarakat.
Akan tetapi, baru-baru ini kita mendengar kisah sebuah partai yang mencalonkan Anies Baswedan sebagai salah satu dari beberapa calon Presiden yang akan diusung oleh partai tersebut. Sebutlah partai itu partai Nasional Demokrat yang terkenal dengan sebutan partai Nasdem.
Bagaiman Sikap Kita?
Sebagai sebuah partai, di sebuah negara yang demokratis, Nasdem memiliki hak untuk mencalonkan suatu nama untuk menjadi Calon Presiden. Dan sebagai masyarakat di sebuah negara yang demokratis, kita tidak bisa menolak hal tersebut.
Semua partai punya hak untuk itu. Dan semua partai pasti memiliki kepentingan dengan mencalonkan suatu nama.
Kita setuju bahwa politik itu cair. Dan kita juga harus menerima kenyataan bahwa partai Nasdem mencalonkan Anies Baswedan sebagai salah satu calon. Tetapi kita tidak tahu motif yang apa dibalik dukungan itu. Pasti ada berbagai macam motif kepentingan. Lagipula, pendaftaran bakal calon Presiden masih beberapa waktu. Masih ada waktu untuk melihat lagi, apakah memang Anies akan ditetapkan sebagai calon definitif dari partai Nasdem.
Sebagai sebuah partai, Nasdem tidak bisa mencalonkan capres tanpa koalisi dengan partai lain. Jadi masih ada kemungkinan bahwa Anies nantinya tidak ditetapkan sebagai capres bila hasil koalisi Nasdem dengan partai lain ternyata mendukung calon lain.
Dan seandainya nanti ditetapkan, kita tidak bisa apa-apa. Kita hanya bisa menerima karena memang demokrasi memungkinkan dan mengizinkan hal seperti itu. Sikap kita nantinya jelas. Kita tidak akan mendukung capres yang bermasalah. Siapapun itu dan dari partai manapun.
Kita mendukung proses demokrasi, tetapi kita juga memiliki rasa kepedulian akan negara kita. Kita terima pencalonan siapapun itu. Tetapi sekali lagi, kita tidak akan memilih capres yang bermasalah. Baik bermasalah secara hukum maupun secara moral.
Salam sehat Indonesia
Nugraha, pegiat literasi media
#WarasBernegara
#SayaSPARTAN
Sumber:
https://id.wikipedia.org/wiki/Politik_identitas
https://fin.co.id/read/87358/Guntur-Romli-Sebut-Gubernur-Anies-Gak-Bisa-Kerja-Cuma-Nyerocos-Saja
https://www.inilah.com/rakernas-32-dpw-partai-nasdem-dukung-anies-sebagai-capres