Pernah disampaikan oleh Johnny Plate Menteri Komunikasi dan Informatika bahwa literasi digital sangat penting, utamanya di tingkat paling dasar. Bisa dipahami karena melekatnya label Kominfo sebagai kementerian blokir untuk sejumlah konten yang kedapatan melakukan pelanggaran. Di dalam hal ini juga bekerjasama dengan Bareskrim untuk menindak pembuat dan penyebar hoaks.
“Kominfo lebih banyak dikenal kementerian blokir jadinya. Blokir konten, take down konten. Ini pentingnya media bersama Kominfo melakukan literasi digital di tingkat yang sangat basic,” kata Johnny dalam diskusi seputar hari pers nasional, Senin, 8 Februari 2021. Dikutip dari: tempo.co
Ini menarik sehubungan pertumbuhan era digital Indonesia saat ini. Sebab seolah kebebasan di ruang digital tidak tersentuh oleh hukum. Sehingga yang terjadi adalah kebablasan, dan tidak tersaringnya berita ataupun konten dengan mengatasnamakan kebebasan berpendapat. Kondisi yang diperburuk dengan fakta minimnya tingkat literasi masyarakat Indonesia. Semakin miris mengingat dilabelinya orang Indonesia malas membaca.
Mengutip kominfo.go.id, data tahun 2017 UNESCO menyebutkan Indonesia urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya minat baca sangat rendah. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca!
Fakta lainnya, Riset berbeda bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Meskipun kemudian setiap tahunnya presetasenya meningkat. Menurut data survei The Digital Reader minat baca di Indonesia pada 2019 meningkat 53,84 persen, dari data 2018 di angka 52,92 persen. Kemudian terakhir Perpustakaan Nasional mencatat di tahun 2020 presentase gemar membaca mencapai skor 54,17 meningkat dari tahun sebelumnya.
Jika yang dibicarakan buku adalah jendela dunia mungkin bisa dipahami sulitnya akses buku bagi masyarakat di 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal). Tetapi dengan pesatnya pembangunan infrastruktur di era Presiden Jokowi maka seharusnya ini bukanlah kendala. Terlebih dengan keberadaan “toll langit” internet yang dapat menjangkau hingga pelosok negeri sekalipun. Masyarakat dimudahkan bisa mengakses internet tanpa dibatasi ruang dan waktu. Apalagi di era digital, internet sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia.
Namun disinilah tantangannya, karena kemudahan internet yang seharusnya membuka dunia pun memiliki dampak baik dan buruk. Bijak jika kita mencontoh Masran Rauf Kepala Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik (Diskominfotik) Provinsi Gorontalo menerbitkan buku Panduan Remaja Cakap (Recak) Digital untuk memandu para remaja agar mampu memanfaatkan media digital dengan lebih cerdas, kreatif, dan produktif.
Dibagikan kepada sekolah-sekolah yang menjadi lokasi “pilot project” program Recak Digital. Diharapkan nantinya para siswa memiliki keterampilan dan memiliki literasi digital yang baik. Sebab, buku ini berisi lima dimensi literasi media dan digital yakni mengakses, menganalisis, berkreasi, refleksi, serta melakukan aksi dengan konten digital.
”Semoga buku ini akan membantu para remaja, karena di era digital sekarang ini banyak dampak negatif internet tapi hal itu dapat dicegah bila kita tahu manfaat lainnya yang sebenarnya jauh lebih besar,” katanya. Dikutip dari: indonesiatech.id
Lalu, Seberapa Daruratnyakah Literasi di Negeri Ini?
Begini, apakah terlalu berlebihan jika mengatakan di tahun 2017 saja fakta 60 juta penduduk Indonesia memiliki gadget, dan menempati urutan kelima dunia terbanyak kepemilikan gadget. Bahkan lembaga riset digital marketing Emarketer ketika itu memperkirakan di tahun 2018 jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia lebih dari 100 juta orang. Ini artinya, dengan jumlah sebesar itu, Indonesia akan menjadi negara dengan pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika.
Meski kemudian Indonesia tidak terbukti sebagai negara pengguna smartphone terbesar di dunia. Tetapi ternyata Indonesia menempati urutan ke-4 pengguna internet terbanyak di dunia. Inilah ngeri sedapnya!
Kenapa, karena data menunjukkan rendahnya minat baca buku masyarakat kita. Sementara data wearesocial per Januari 2017 mengungkap orang Indonesia bisa menatap layar gadget kurang lebih 9 jam sehari. Jika dilihat dari sisi ini, maka menjawab jangan heran melihat kecerewetan di media sosial orang Indonesia berada di urutan ke 5 dunia! Namun tidak menutup faktanya masyarakat kita minim literasi.
Adapun makna literasi disinilah adalah kemampuan memahami informasi, kemampuan berkomunikasi, ataupun kemampuan baca tulis. Sekaligus juga disini literasi bermakna kedalaman pengetahuan seseorang terhadap suatu subjek ilmu pengetahuan. Seharusnya disini keberadaan ruang digital dapat penggantikan peran buku jendela dunia. Tetapi nyatanya yang terjadi adalah tidak.
Kebanyakan yang terjadi hanyalah sebatas keinginan bisa mengakses. Tetapi langkah selanjutnya menganalisis, berkreasi, refleksi, serta melakukan aksi dengan konten digital masih jauh panggang dari api. Ujungnya pemanfaatan ruang digital tidak menjadi positif dan produktif karena tidak digunakan sebagaimana harusnya.
Lihat di keseharian, masyarakat kita sangat mudah tertipu hoaks. Mereka begitu percaya dengan akun-akun penyebar hoaks. Bahkan ketimbang mencari kebenaran berita, jari jemari mereka cepat saja mengirim/ menyebar luaskan berita tersebut. Ini belum termasuk dengan “tidak bertanggungjawabnya” asal menaruh status sosial baik di WA ataupun FB, misalnya. Tanpa memikirkan/ mempertimbangkan kemungkinan aksinya dapat mendiskreditkan orang lain dan membuat gaduh.
Lihat saja yang terjadi di masyarakat kita. Kerap terjadi tanpa tanggungjawab kita berkomentar di ruang publik. Tanpa tanggungjawab kita mengarang bebas. Tanpa tanggungjawab kita membuat konten menyesatkan. Lalu tanpa tanggungjawab pula kita asal share berita dan gambar yang tidak jelas kebenarannya. Apakah berita/ gambar tersebut baru, ataukah sudah diedit. Lalu apakah layak untuk disebarluaskan? Kita justru mengotori ruang digital dengan kecerewetan di media sosial (medsos). Ketimbang memanfaatkan ruang digital untuk membangun diri.
Di sini, bisa dibayangkan rentannya negeri ini. Bermodal ilmu minimalis, malas baca buku, tapi betah menatap layar gadget berjam-jam, ditambah paling cerewet di media sosial pula. Maka janganlah heran jika Indonesia jadi sasaran empuk untuk info provokasi, hoaks, dan fitnah. Hiks…hiks… apakah kondisi ini tidak menyedihkan ketika kecepatan jari untuk langsung like dan share bahkan melebihi kecepatan otak masyarakat kita?
Padahal informasinya belum tentu benar, dan kita justru menjadi bagian yang memprovokasi dan memecah belah bangsa. “Bukan mulutmu harimaumu. Tetapi, Jarimu harimaumu!”
Saya, Gendhis yang mencintai negeri ini.
____
*Gendhis, pegiat literasi media, pendukung tagar #WarasBernegara, #SayaSpartan
Sumber: