Bulus di Balik Naiknya Tarif Borobudur

Asumsi liar seketika menyeruak tatkala menyimak sumirnya alasan di balik rencana naiknya tarif Borobudur.

Tarif Borobudur, antara peribadatan dan kepariwisataan
Tarif Borobudur, antara peribadatan dan kepariwisataan

Tarif Borobudur seketika jadi perbincangan hangat sejak kemarin. Semua berawal dari pernyataan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi (Marives) Luhut Binsar Panjaitan.

“Kami sepakat dan berencana untuk membatasi kuota turis yang ingin naik ke Candi Borobudur sebanyak 1.200 orang per hari. Dengan biaya US$ 100 dolar untuk wisman, dan turis domestik Rp 750 ribu,” kata Luhut dalam postingan Instagram, dikutip dari CNBC Indonesia, Senin (6/6/2022).

“Sedangkan untuk memasuki kawasan Candi akan tetap mengikuti harga yang sudah berlaku, dan pelajar juga akan diberi harga khusus yakni Rp 5.000 saja”, demikian lanjutnya.

“Silahkan cek atau tanya ke teman-teman pengelola di sana. Belum lagi perilaku pengunjung yang suka melakukan vandalisme, menyelipkan benda tertentu di sela-sela batu candi, membuang sampah sembarangan, dan yang lebih parah adalah tidak bisa menghargai Candi Borobudur sebagai situs umat Buddha. Ini semua kan perlu penanganan khusus,” kata Luhut.

Tarif Borobudur Naik, Alasannya Sumir

Terang saja pernyataan tersebut memantik polemik. Saya pun seketika merasa patut berada pada sisi mereka yang kontra. Mengapa? Karena alasan di balik rencana tersebut teramat lemah. Tentu, kami menolak bukan karena semangat antipati kepada pribadi seorang Luhut.

Bagi saya pribadi, alasan di balik rencana menaikkan tarif Borobudur itulah yang mendorongku untuk bereaksi kontra. Ada semacam kesumiran landasan berpikir di balik rencana tersebut. Apa itu? Berikut ini coba saya uraikan. Jadi, mari kita bedah!

Pertama, Luhut beralasan bahwa menaikkan tarif Borobudur hendak menekan angka pengunjung di setiap harinya ke Borobudur. Alasan ini menurutku sangat lemah. Bagaimana bila dalam sehari yang ke Borobudur ada lebih dari 1200 orang yang sanggup membayar 750 ribu rupiah? Yakin, efektif itu kebijakan?

Kedua, hendak menangani masalah vandalisme dan perilaku tak terpuji pengunjung lainnya. Studi di manakah yang berhasil menunjukkan bahwa dengan menaikkan tarif ribuan kali lipat mampu menertibkan perilaku pengunjung sebuah obyek wisata? Bagaimana dengan orang yang karena merasa udah bayar mahal, jadi merasa bisa melakukan apa saja di candi? Harga selangit demi itu semua? Maaf, saya belum bego-bego amat.

Ketiga, ongkos operasional pemeliharaan candi yang tidak sedikit. Alasan ini memang tidak muncul dari pernyataan Luhut sendiri melainkan dari mereka yang coba mendukung angka kenaikan tarif yang direncanakan dalam pernyataan Luhut. Logis alasan yang ini. Tapi, jika angkanya adalah dari 50 ribu menjadi 750 ribu, saya seketika bagong.

Borobudur jadi obyek wisata bukan baru kemarin. Logikanya, jika sudah puluhan tahun dioperasikan jadi obyek wisata maka sudah selama itu pula tarif yang dikenakan dapat menutupi biaya operasional. Lantas mengapa sekarang tiba-tiba naiknya direncanakan jadi 13 x lipat alias 1300 persen?

Menuntut Alasan Logis, Bukan Bualan Bulus

Menyimak sejumlah sumirnya alasan di balik rencana naiknya tarif Borobudur di atas, tentu memunculkan dugaan bahwa di baliknya ada alasan mendasar namun sengaja ditutup-tutupi. Mengapa mesti ditutup-tutupi jika orientasinya adalah demi kemaslahatan kita satu bangsa?

Naik, silakan naik tarifnya karena memang daya tarik Borobudur rasanya “kurang worth it” jika dinominalkan sejumlah 50 ribu rupiah semata seperti harga sekarang. Namun, dari 50 ribu seketika jadi 750 ribu, ini jelas mengundang tanya. Kita patut bertanya akan alasan utama, yang mendasar dan sejati di balik rencana tersebut.

Yang dikuatirkan publik kritis macam saya adalah di balik rencana tersebut ada agenda terselubung “pengusaha hitam”. Berdalih hendak kelola Borobudur secara pantas bertaraf internasional, tapi sejatinya ini bancakan proyek bagi-bagi duit. Pengusaha hitam kan sukanya main mata dengan pemangku kebijakan.

Disinyalir, Borobudur akan dihubungkan dengan Malioboro dan Prambanan di Jogja menggunakan kereta gantung. Duitnya darimana? Investor katanya.

Investor masuk tentu orientasinya untung. Mana ada pengusaha yang berinvestasi untuk rugi? Demi menangguk untung dari proyek tersebut, pengusaha hitam bisa saja main mata. Artinya, dalam proses tender ada MoU tersendiri yang hanya diketahui antara pemenang tender dan pemangku kebijakan. Ya, siapa tahu? Siapa tahu itu alasan sejati di balik rencana kenaikan tarif tersebut.

Apalagi nih, kalau investor yang bangun, maka tidak etis pemerintah bicara dari sekarang akan rencana kenaikan tarif masuk borobudur. Mengapa tidak sabar menunggu investor selesaikan pengerjaan laboratorium konservasi berikut sarana-prasarana transportasi terlebih dahulu? Selesai dulu proyek pengerjaan menyulap destinasi wisata Borobudur jadi ekslusif baru bicara tarif masuk.

Jika proyeknya saja masih dalam tahap rencana, kok sudah bicara tarif? Kesannya jadi seolah demi mewujudkan proyek ambisius pemerintah, pengunjunglah yang dipaksa untuk rogoh kocek dalam-dalam. Sialnya, bakal menimpa juga pengunjung yang hendak menyerap energi keluhuran budi leluhur Nusantara dari pusaka peninggalan berupa Candi Borobudur.

Alasan pemerintah udah sumir, tidak etis lagi. Salahkah kalau saya ikutan memilih bersikap kontra?(*)

Salam Waras Bernegara!

Saya Aven, pegiat literasi media, pelontar tagar #WarasBernegara dan #SayaSPARTAN