Ada seorang komisaris utama BUMN yang mengingatkan Banser NU untuk tidak lengah atas agitasi radikalis yang minoritas, namun berisik di medsos. Pernyataan yang sangat tepat, di mana yang diberi peringatan itu memang sayap ormas yang terkenal akan nasionalismenya.
Persoalan menjadi panas dan sampai dewan pun mengusulkan pemecatan yang bersangkutan adalah karena yang disoal HTI dan kawan-kawan. Lucu dan aneh, mereka ini kan ormas yang sudah dilarang, sekelas PKI. Memang sih tidak ada peraturan perundangan sekelas pelarangan PKI, jadi mereka, yang menggunakan HTI sebagai alat, ataupun memang penganut paham itu.
Tidak mendengar, dewan, partai politik menghujat atau mengecam bupati yang ditangkap KPK, atau pengusaha yang diciduk Kejaksaan Agung, padahal mereka merugikan bangsa dan negara, terutama masyarakat. kini, hanya karena Komisaris Utama sebuah BUMN menyoal kewaspadaan pada pemecahbelah bangsa, eh mereka malah berteriak demikian kencangnya.
Narasi yang berkembang saat ini, selalu saja membenturkan labeling agama dengan nasionalisme, seolah-olah label agama itu sebagai agama itu sendiri. Usai menggoreng isu kerudung dan perempuan gurun oleh rektor ITK, kini ada yang lebih gede lagi.
Mengapa demikian?
Pertama, BUMN selama ini adalah sarang dan menjadi lumbung bagi tikus ideolog yang memang merongrong negeri. Jangan naif dan munafik pura-pura tidak paham kondisi ini dan siapa di balik itu semua.
Kedua, pelemahan bangsa ini salah satunya ya dengan merontokkan sendi-sendi ekonomi. BUMN dibenahi dan dikelola dengan baik akan diteror. Lihat saja selama BUMN merugi dan bisa dirampok tidak pernah terdengar suara partai politik atau dewan berteriak-teriak. Masa sekarang di mana BUMN dikelola demi negaralah mereka ngamuk tidak karuan.
Maling yang terbiasa hidup enak, kini kesulitan. Wajar kalau ngamuk-ngamuk tidak karuan.
Ketiga, publik jadi paham, siapa-siapa yang merasa memiliki negeri ini, atau siapa yang hanya memperalat bangsa ini demi kepentingan kelompok dan pribadinya. Semua juga paham kog. Soal nasionalisme dan ketamakan terpampang dengan terang benderang dan lugas.
Keempat, menjelang tahun politik. Kelompok ultrakanan yang sedang porak poranda tentu saja membangun konsolidasi baru demi mendapatkan panggung baru. Apalagi merasa masih memiliki pengasong dan politikus minim prestasi yang akan suka cita mereka ajak kerja sama. Ini jauh menakutkan.
Kelima, paradigma pekerja negeri ini akan dihancurkan, dan yang tidak berbuat apa-apa yang didiamkan saja. Pelemahan yang menjadi kunci. Biar negara tidak terurus itu mudah dikuasi. Hal yang sangat dipahami oleh politikus tamak, orientasi mereka kuasa dan kaya, bukan soal negeri.
Miris membayangkan negara ini hancur lebur justru oleh agama, di mana negeri ini adalah pemeluk agama yang sangat saleh dan puritan, sayangnya bukan masalah perihidup, namun sebatas ritual dan label kosong.
Keenam, separasi yang sangat bagus, jelas, lugas, dan tanpa tedeng aling-aling, mana yang nasionalis tulen, mana yang sekadar tempelan, dan mana yang aslinya demi doit dan merampok negara. Semua terbaca karena hasrat 24 tanpa modal.
Ketujuh, panasnya tahun politik baik untuk publik lebih cerdas dan waspada, mana partai yang benar-benar berpikir bagi negara, atau hanya mengejar kursi demi bisa maling. Hal yang sama juga untuk olitikusnya.
Kursi, ideologi yang menjadi perhatian publik sekarang ini. Jangan sampai kegagalan Libia, Iraq, dan Suriah ini terjadi di sini denga demokrasi yang aslinya hanya dimanfaatkan sekelompok bandit.
BUMN selama ini adalah sapi perahan elit, parpol, negara asing, dan ketika dikelola dengan baik, yang biasanya pesta pora meradang. Salah satu yang berpesta adalah ideolog ultrakanan. Benalu yang membuat negara ini seperti beberapa waktu lalu.
Kini, ketika orang-orang waras mengelola, yang biasa merampok takut ketahuan. Teriak mau mempermalukan diri tidak lagi peduli, karena malu dan lapar.
Apakah hal itu mau didiamkan? Tentu saja tidak dong. Yang waras tidak perlu takut bersuara. Semua demi negeri tercinta.