Indonesia dikenal sebagai negara demokrasi besar di dunia.
Sampai tingkat pemilihan terendah yaitu pemilihan kepala desa, rakyat berhak memilih secara langsung calon yang akan dipilih menjadi pemimpinnya.
Mungkin sebagian masyarakat berpikir bahwa demokrasi sudah berjalan baik di Indonesia.
Kita coba akan menelisik, apakah benar seperti itu yang terjadi.
Demokrasi kita pahami bahwa pemilihan dilakukan oleh rakyat langsung.
Partai Politik mengajukan kadernya untuk dipilih sebagai anggota DPRD tingkat II, DPRD tingkat I, DPR RI, Bupati/Walikota, Gubernur bahkan Presiden dan Wakilnya.
Masalahnya adalah apakah saat memilih, rakyat selaku pemilih punya bekal tentang apa tujuan pemilihan, apa untung dan ruginya bila memilih calon yang salah serta pengetahuan tentang calon yang akan dipilih.
Prinsip pemilihan yang satu orang, satu suara juga membuat tidak perbedaan kontribusi suara antara pemilih yang berpengatahuan dan pemilih tanpa pengetahuan.
Mungkin istilah yang mudah dimengerti adalah suara seorang Profesor sama harganya dengan suara seorang buruh kasar.
Bagaimana kalau kader partai yang diajukan untuk dipilih ternyata hanya diajukan demi kepentingan partai, bukan demi kepentingan masyarakat?
Rakyat pemilih tentunya tidak dapat berbuat apa-apa kecuali memilih dan tidak memilih.
Ketika ada persyaratan perolehan suara 20% bagi partai politik yang bisa mencalonkan Presiden dan wakilnya, serta ambang batas parlemen untuk DPR RI, maka peranan rakyat sebagai pemilih semakin dinisbikan.
Elite partailah yang berperan menentukan siapa calon yang akan diajukan walaupun dalam komunikasinya pastilah mengatakan mendengarkan suara rakyat.
Bagaimana bila ada calon pemimpin yang dikehendaki sebagian besar rakyat tetapi karena kepentingan partai politik, orang tersebut tidak dicalonkan oleh partai politik?
Bukankah ini sebenarnya adalah tindakan sabotase yang dilakukan oleh elite partai politik demi ambisi mereka sendiri tanpa mempertimbangkan kepentingan rakyat?
Persyaratan minimal 20% ambang batas pencalonan Presiden (Presidential Threshold) sesuai dengan UU no 7/2017, di satu sisi cukup beralasan karena tanpa dukungan dari Legislatif, Presiden juga akan susah menjalankan kebijakannya, walaupun faktanya kalau cuma yang mendukung hanya 20% ya tetap saja susah.
Disisi lain, ambang batas Kepresidenan ini juga membuat Elite partai begitu berkuasa untuk menentukan masa depan bangsa padahal elite partai kan bukan hasil pilihan rakyat.
Memang dengan kondisi masyarakat yang kesadaran politiknya masih rendah seperti di Indonesia, demokrasi yang telah menjadi pilihan para bapak bangsa, cukup susah dilaksanakan secara baik.
Tapi tentunya ini bukan menjadi alasan kita untuk menyerah dengan kondisi yang ada.
Segala kekurangan yang ada harus terus kita benahi sehingga suatu saat nanti, Indonesia bisa menjadi negara demokrasi yang maju dan didukung oleh kesadaran politik yang memadai dari sebagian besar rakyatnya.
Pendidikan terutama pembentukan mental dan karakter generasi mendatang harus menjadi fokus pemerintah karena pendidikan adalah jalan utama untuk pembentukan karakter bangsa.
Persaingan antar negara akan dimenangkan oleh negara yang diisi oleh rakyat dengan mental dan karakter yang unggul, bukan hanya penguasaan teknologi.
Jangan sampai kita sudah bermimpi dengan penguasaan teknologi terkini dan terdepan tetapi ternyata mental kita masih mental feodalistik jaman Mataram.
Dengan ambang batas Kepresidenan yang sudah ditentukan dan berlaku saat ini, kita berharap bahwa partai politik terutama elitenya tidak hanya mementingkan kepentingan mereka tetapi seperti yang selalu mereka katakan, mereka akan mendengarkan suara rakyat.
Semoga di tahun 2024 nanti kita bisa mendapatkan pemimpin yang bisa melanjutkan derap langkah kemajuan bangsa yang sudah dirintis oleh Presiden Jokowi dan berani menumpas segala anasir jahat yang mengancam Pancasila dan keutuhan NKRI.
Bagaimana menurut teman-teman?
Salam Spartan, Roedy.
#Warasbernegara.
#SayaSpartan.
Sumber :
https://nasional.tempo.co/read/1600687/pdip-jelaskan-3-pertimbangan-megawati-putuskan-capres