banner 728x250
Opini  

Elitisme Politik, Fanatisme Partisan dan Implikasi Polarisasi Sosial; analisa terkait perundungan terhadap Tsamara Amany

Tsamara Amany resmi hengkang dari PSI. Bagaimana dampaknya pada dinamika politik nasional?

banner 120x600
banner 468x60

Oleh: Rio Irawan*

Belum lama ini kalangan publik khususnya para pengikut setia perkembangan dinamika perpolitikan Indonesia, dihebohkan oleh pemberitaan terkait keputusan politisi PSI Tsamara Amany untuk undur diri dari PSI yang telah membesarkan namanya di kancah perpolitikan.

banner 325x300

Keputusan Tsamara Amany yang secara tiba- tiba sudah tentu membuat banyak orang (mungkin juga pengagum) untuk bertanya tanya. Rasa penasaran publik pun mulai memunculkan dugaan dugaan bahkan kecurigaan, dan berujung pada suara suara miring, termasuk sebuah komentar sumbang bernada fasis yang kemudian berujung pada pengaduan kepada pihak Kepolisian.

Terlihat jelas Tsamara Amany merasa sangat tidak nyaman dengan aneka tudingan menyudutkan yang dialamatkan secara membabi buta. Karena menyangkut nama baik pribadinya dan keluarganya yang sedang dirundung pembullyan terutama di akun media sosialnya.

Banyak pihak terkait akhirnya harus angkat bicara, termasuk Kepolisian sampai seorang aktivis GP Anshor yang merasa fotonya dicatut oleh pemilik akun yang telah membully Tsamara Amany. Dalam tulisan ini, saya tidak akan membahas banyak hal terkait Tsamara Amany, melainkan akan menganalisanya dari sudut pandang pola perpolitikan masyarakat Indonesia dewasa ini.

Tentu kita semua sepakat dan mengetahui, bahwa momentum Pilpres 2014, Pilpres 2019, serta Pilkada DKI 2017 masih sangat terasa gaungnya hingga saat ini. Sebuah keniscayaan konsekuensi yang implikatif sebagai bagian dari proses transformasi politik dalam negeri menuju kesadaran demokrasi.

Moderasi sistem politik yang semakin berkembang, namun tetap menyisakan segolongan entitas sosial yang selalu melihat fenomena politik dengan sudut pandang yang kultus dan konvensional. Apalagi jika sudah menyangkut sentimen identitas dalam hal ini SARA.

Hal tersebut yang sejak awal kurang menjadi pertimbangan oleh para elit Politik dan diolah secara baik demi menghindari polarisasi sosial. Berpolitik ibarat berkendara untuk berjalan menuju tujuan, apapun kendaraannya, apapun cara yang harus dilakukannya sepanjang jalan yang penting bisa sampai pada tujuan perjalanan.

Sementara kalangan non elit, adalah sekumpulan partisan yang sejak awal terlibat, dilibatkan maupun melibatkan diri dengan standar persepsi yang berbeda dengan persepsi elit.

Seperti sebuah medan pertempuran terbuka,kelompok partisan, para akar rumput,  pendukung garis keras serupa serdadu yang hanya tahu melesat maju dan bertempur (walau harus) mati matian. Sementara elit politik ibarat para perwiranya, yang lebih berpikir secara taktik dan strategi.

Maka tidak mengherankan, ketika kemudian elite politik terkesan keluar dari jalur yang sudah sangat diyakini oleh kelompok partisan, maka timbul lah rasa kecewa yang teramat dalam. Ini karena selama ini para pendukung fanatis hanya diajarkan untuk “bertempur” bukan diajarkan untuk dewasa berpolitik. Karena memang tidak ada yang jalan dan tujuan yang abadi dalam politik. Semua karena menyangkut kepentingan.

Dalam hal ini, saya tidak bermaksud menyampaikan bahwa Tsamara Amany punya kepentingan lain yang terselubung. Sekalipun demikian, apapun motif keputusannya, itu merupakan ranah privasi yang bersangkutan. Ini semua tentang dinamika Politik yang selalu memiliki banyak kejutan.

Masih terekam jelas dalam ingatan, bagaimana ketika seorang Prabowo Subianto memutuskan berkoalisi dengan kubu pemerintah kabinet Presiden Joko Widodo, yang tidak lain adalah lawan utamanya selama masa Pilpres 2014 dan Pilpres 2019. Pada saat momentum itu, mulai terlihat satu persatu yang awalnya mendukung Prabowo mulai meninggalkannya. Bahkan mencelanya habis habisan di ruang ruang publik. Dan terkait hal ini, mungkin mentalitas Prabowo sebagai elite Politik jauh lebih tahan banting, saat menghadapi perundungan dari para pendukungnya.

Polarisasi sosial dalam masyarakat akhirnya semakin bermunculan tak terbendung. Ini adalah sebuah konsekwensi dari masa transformasi politik di Indonesia, yang semakin memperlihatkan pola kebebasan berekspresi. Setelah selama berpuluh tahun sejak masa orde baru, ekspresi kebebasan dalam perpolitikan tanah air adalah sesuatu hal yang dianggap tabu.

Kemunculan polarisasi dalam dinamika masyarakat seharusnya juga membutuhkan sebuah peran dari para elite politik, untuk mengajarkan arti berkompetisi politik dalam konteks sebagai bagian dari kematangan demokrasi.  Politik harus diajarkan sebagai peran warga negara secara substantif, bukan semata tentang fanatisme dukungan dan keberpihakan secara membabi buta.

Para elite politik semestinya menggunakan instrumen politik tidak hanya sebagai cara mencapai tujuan, melainkan juga sebagai sebuah pedagogi untuk pendewasaan politik dan demokrasi bagi masyarakat. Masyarakat harus diberikan pemahaman yang utuh bahwa dalam politik tidak ada harga mati, semua hanyalah bersifat sebagai sebuah seni untuk meraih satu kepentingan.

Hal ini tentu saja untuk mengantisipasi, dan meminimalisir aksi aksi bumerang dari kalangan akar rumput pada saat terjadi kejutan kejutan ,yang mungkin selama ini tidak pernah terpikirkan oleh mereka.

Pola pola pembinaan dukungan politik di Indonesia, masih lekat dengan doktrin doktrin untuk maju perang dan menang. Memang dalam pragmatisme politik tidak akan ada doktrin untuk menjadi kalah. Tapi penting untuk menjadi sebuah tambahan wawasan bahwa dalam politik bisa saja akan terjadi kejutan dan perubahan, yang mau tidak mau harus bisa diterima secara dewasa dan lapang dada.

Kemudian menyangkut perundungan. Dalam dinamika politik, perundungan, olok olok, sampai pada mosi tidak percaya adalah hal yang biasa. Walau terkesan tidak sehat dari segi etika berbangsa dan bernegara. Namun sekali lagi, semua yang telah terjadi setidaknya menjadi cermin instropeksi bagi para elit politik tentang sejauh mana upaya mereka untuk mensosialisasikan sebuah pola pendidikan politik yang sehat, fair dan berimbang, telah diajarkan kepada seluruh komponen masyarakat.

Dalam perspektif sosiologi setiap kejadian dan fenonema sosial yang terjadi di masyarakat selalu ada pondasi motif dan pemaknaan yang melatarbelakanginya. Inilah yang akan menentukan bagaimana konstruksi maupun dekonstruksi sosial akan terbangun di masyarakat. Dan ini menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi para elit politik dalam rangka tanggung jawab moralnya untuk membimbing masyarakat memperoleh pendidikan politik yang mendidik, bukan hanya menanamkan pemahaman politik yang pragmatis dan fanatis.

Terakhir mengenai cara yang digunakan oleh Tsamara Amany dalam menunjukkan “rasa tidak terima” nya dengan lalu menandai akun resmi Kepolisian pada saat berkeluh kesah di media sosial. Itu bukan hal yang salah, ranah interaksi di media sosial memang memungkinkan untuk melakukan hal itu.

Namun ini akan menjadi sesuatu hal yang menuai perdebatan ketika akun Instansi yang ditandai dengan cepat merespon dan menindaklanjuti.

Kalangan awam akan bertanya-tanya, apakah dengan sebegitu mudahnya akses interaksi dengan pihak penegak hukum,  juga akan berlaku bagi siapapun di negeri ini yang memiliki sebuah kegelisahan dan pengaduan ? Ataukah hanya karena Tsamara Amany adalah seorang figur publik kemudian pihak Kepolisian langsung menanggapinya dengan cepat ?

Terkait hal ini, mari kita semua memposisikan diri sebagai pihak yang masih percaya dengan profesionalisme Kepolisian. Dalam artian, kita semua pun akan diberikan hak yang sama sebagai warga negara saat memberikan aduan pada pihak Kepolisian. Karena kepercayaan masyarakat terhadap profesionalitas performa Kepolisian adalah urat nadi penyemangat bagi perbaikan pelayanan dan reformasi di tubuh Polri.

Hanya saja, alangkah baiknya apabila sesuatu hal yang menyangkut pengaduan dan membutuhkan pelayanan tindak lanjut secara hukum dari Kepolisian disampaikan juga pada pihak terkait secara resmi dan profesional dengan langsung membuat laporan resmi. Hal ini dimaksud supaya tidak menimbulkan kecemburuan sosial dan kemunculan persepsi persepsi lain yang tidak perlu. Terutama bagi nama baik Institusi Kepolisian dan nama baik individu terkait.

Dengan demikian slogan Revolusi Mental dan Indonesia Maju tidak hanya bertengger sebagai jargon rezim semata, namun harus juga turut dihidupi, diejawantahkan, dan diaplikasikan secara baik melalui sikap perilaku warga negara, minimal oleh semua yang merasa sebagai pengawal dan pendukung pemerintahan era Presiden Joko Widodo. Mari menjadi teladan yang baik bagi kemajuan dan pertumbuhan negeri ini, melalui sikap dewasa dalam berpolitik.

#WarasBernegara #LiterasiKebangsaan

*Rio Irawan, Analis Konflik, Sosial Politik & Kontra Radikalisme

https://publika.rmol.id/read/2021/07/31/498652/dewasa-berpolitik

https://news.detik.com/berita/d-6047858/tsamara-diserang-usai-keluar-psi-dinilai-gegara-polarisasi-sosial/amp

https://news.detik.com/berita/d-4657641/jokowi-soal-prabowo-gabung-koalisi-politik-itu-semua-serba-mungkin

https://lampung.suara.com/read/2022/04/23/095037/tsamara-amany-tandai-akun-humas-polri-soal-serangan-rasial-ini-reaksi-polri

https://nasional.okezone.com/read/2022/04/23/337/2583979/tsamara-amany-dituding-kadrun-polri-turun-tangan

https://amp.kompas.com/nasional/read/2019/04/23/13291151/mencegah-polarisasi-politik-pasca-pilpres-2019-semakin-tajam

banner 325x300