Salah satu tugas pendidikan nasional adalah mencerdaskan hidup bersama. Cita-cita mulai dan sangat luhur yang patut untuk mendapatkan dukungan seluruh pihak. Pendidikan adalah gerbang perubahan dan masa depan yang lebih baik.
Pendidikan dasar meningkat, dari enam tahun menjadi sembilan tahun. Harapannya adalah, bahwa manusia Indonesia berpendidikan menengah yang baik dan mumpuni untuk hidup. apa yang terjadi saat ini, apakah sudah demikian?
Beberapa hal akhir-akhir ini memperlihatkan, bahwa mencerdaskan hidup berbangsa itu masih jauh dari harapan. Hal-hal ini, bisa menjadi sebuah permenungan;
Kejujuran. Masih jauh dari harapan, ketika orang-orang bicara atau berbuat jujur saja malah sebuah hal yang hebat, ala KPK. Padahal, sejatinya jujur itu sebuah hal yang biasa. Tidak sebuah prestasi hebat dan luar biasa.
Bagaimana taraf cerdas, ketika jujur saja tidak bisa. Malah jujur saja dianggap sebuah prestasi, bukan sebuah gaya hidup. Terlalu parah.
Bagaimana mengaku cerdas, ketika orang beragama, namun sekaligus tidak malu memperalat orang lain. Cek saja, bagaimana hari-hari kita dipenuhi pembicaraan dan juga pemberitaan mengenai aksi dan demonstrasi yang ujung-ujungnya bayaran.
Identik dengan ini, ketika orang dalam pemilu apapun itu mengandalkan uang dalam mencapai kemenangan. Bagaimana orang cerdas tidak demikian seharusnya.
Sikap tanggung jawab. Bagaimana orang cerdas itu seharusnya bertanggung jawab atas gaperbuatannya. Namun apa yang terjadi selama ini? Mau elit atau biasa, pejabat atau bukan sama saja. Mereka memutarbalikan fakta, menuding pihak lain, atau malah sering juga mengaku dibajak dan sejenisnya.
Ketulusan. Lihat bagaimana negeri ini miskin ketulusan. Salah satu cirinya adalah dalam hal kekuasaan. Bagaimana kekuasaan untuk membangun negeri atau memperkaya diri dan kelompoknya. Berapa banyak yang masih berfokus pada dirinya.
Kekuasaan untuk melayani atau minta dilayani. Ini kemudian menjadi sebuah tabiat dan budaya yang dianggap baik-baik saja. Padahal jika orang itu cerdas akan mampu melayani satu sama lain.
Semangat berbagi. Orang cerdas itu bukan mengumpulkan namun membagikan. Berbagi kecerdasan untuk sejahtera bersama. Apa yang terjadi dalam hidup berbangsa kita malah mengumpulkan demi kekayaan diri dan kelompoknya.
Korupsi itu salah satu bukti bagaimana kecerdasan masih jauh dari harapan. Miris pedidikan tinggi, namun tidak dibarengi dengan kecerdasan.
Logis. Ini paling penting, bagaimana orang tidak logis dalam berpikir. Demikian banyak hidup bersama kacau karena tidak logis. Logika bolak balik dan ketika terdesak mereka memainkan politik korban. Hal yang demikian begitu sering terjadi di tengah hidup berbangsa ini.
Mengapa tidak logis?
Ada kepentingan yang sengaja membuat pola pikir negeri ini tidak logis. Negara menjadi lemah ketika pola pikirnya bengkok. Berpikir saja dibuat salah, apalagi keputusan. Wajar karena negara ini kaya raya.
Pendidikan yang menekankan kemampuan menghapal bukan mengerti. Sangat mudah dibelok-belokkan karena tidak paham mana yang esensial dan mana yang artifisial. Ini miris.
Kebiasaan, tabiat rendah literasi, sehingga sangat mudah terlahir budaya tidak membaca dengan baik, hanya sebatas judul dan kemudian diberi narasi dan jadi hoax yang merajalela. Jelas bahwa ini karena pola didik yang tidak tepat.
Politis. Permainan politik praktis yang tidak memiliki nilai tawar namun maunya berkuasa. Mereka inilah yang menggelontorkan isu dan berita separo benar. Irisan logis separo yang sering dijadikan bahan propaganda.
Egoisme, ciri orang tidak cerdas berikutnya. Mereka mau menang sendiri, tidak mau tahu kalau mereka salah dan kalah. Padahal di tengah dunia ini kalah dan salah adalah hal biasa. Ketika tidak mau tahu dan menerima kondisi ini, berarti memang jelas orang yang tidak cerdas.
Sebuah ilustrasi menarik dari kisah Timur Tengah, Turki tepatnya, Nasrudin Hoja, seorang filsuf, sufi, dan ahli satire. Dalam salah satu kisahnya ia bertutur, pada suatu kesempatan ada sepuluh orang buta yang mau menyeberang sungai.
Nasrudin tahu pasti ini adalah kesempatan, uang, dan bisa membantu orang sekaligus. Mereka tawar menawar dan memperoleh titik temu, kesepakatan, se dinar per orang untuk membbantu menyeberang.
Nasrudin menjadi penjual jasa penyeberangan. Gampang lah, hanya lompat sana sini, selesai. Sesuai dengan harapannya, tidak butuh waktu lama ia sukses mengantar sembilan orang dengan sukses sampai sisi lain sungai itu.
Kantong Nasrudin sudah mulai menggembung, tinggal satu orang lagi dan ia sukses dengan sempurna. Namun apa dikata, ternyata orang terakhir ini keras kepala dan aneh, setiap kali Nasrudin memberi aba-aba, kanan ia ambil kiri dan sebaliknya, dengan cepat orang terakhir ini pun hanyut, terbawa arus.
Nasrudin terjun ke sungai dan mencari ke sana ke mari. Air yang berkecipak dan lamanya teman mereka belum sampai membuat panik. “Nasrudin, mana teman kami?” tanya mereka panik dan kesal.
“Sebentar….”
“Apa yang terjadi???” tanya mereka makin cemas.
“Aku kehilangan satu dinarku.”
Paham bukan dengan satire ini?