Banyak yang berkomentar bahwa Prabowo sedang halu saat itu. Namun, perkataannya tersebut kini mulai menunjukkan tanda-tanda menuju kebenarannya. Indonesia bubar itu terkondisikan oleh sistem yang kita bikin sendiri. Tak percaya? Yuk lanjut!
Pemilu 2024, Momentum Indonesia Bubar
Apabila tidak diantisipasi dengan baik oleh seluruh elemen bangsa ini, perkataan Prabowo itu akan segera terwujud sebentar lagi. Momentumnya adalah Pemilu 2024. Darimana kesimpulan itu terbit?
Pada perhelatan demokrasi tersebut ada puluhan partai politik yang akan turut meramaikan. Namun justru potensi chaosnya negeri bisa dipastikan malah bukan karena banyaknya peserta pemilu.
Potensi itu justru datang dari kemungkinan sebuah partai akan jadi penguasa tunggal baik di level legislatif pun level eksekutif. Sedangkan, jalannya sebuah negara akan elegan terseelenggarakan apabila dua unsur penentu tersebut berkolaborasi dalam spirit rivalitas. Dalam rivalitas, fungsi kontrol dan pengawasan bisa dijamin keberadaannya.
Spirit rivalitas itu diragukan tetap ada apabila baik legislatif pun eksekutif dikuasai seluruhnya oleh 1 partai. Selama ini semangat rivalitas tersebut bisa terjaga dengan baik karena kekuasaan dipegang oleh komponen parpol hasil koalisi. Jadi, walaupun legislatif dan eksekutif dikuasai parpol pemenang Pemilu namun penguasaan itu berlangsung secara kolektif oleh parpol-parpol pembentuk koalisi.
Tidak ada bayangan soal apa jadinya apabila yang berkuasa di legislatif pun eksekutif adalah 1 partai yang sama, berkuasa sendirian selama ini.
Pada tulisan terdahulu, “Hancurkan Ganjar demi Selamatkan Demokrasi“, sudah dipaparkan sebetulnya. Kali ini hendak mempertegas saja bahwa peluang Indonesia bubar terpampang apabila PDIP mencapreskan paketnya sendiri tanpa berkoalisi.
Sementara, di atas kertas PDIP layak untuk tak berkoalisi dengan partai lain saat usung capres-cawapres. UU Pilpres No 07 Thn 2017 mensyaratkan partai setidaknya menguasai 20% kursi parlemen untuk usung calon. PDIP saat ini menguasai 22,6%. Sah kalau dia usung sendirian, tak berkooalisi.
PDIP Potensial Berkuasa Sendirian
Tampil solo tak berkoalisi sebetulnya baik-baik saja. Yang dikuatirkan adalah dia menang dengan cara solo seperti itu.

Lho? Memangnya PDIP punya masalah apa kok sampai tak boleh menang secara solo? Bukankah itu yang dicari semua parpol?
Bukan masalah menang kalah sebetulnya di sini. Menang mayoritas di pemilihan anggota DPR silakan saja. Itu bahkan wajib. Yang kita kuatirkan adalah dia menang juga di level eksekutif.
Sebentar… sebentar… Jadi paket calon dari PDIP tak boleh menang di level Pilpres, begitukah?
Tepat! PDIP memang tak boleh menang di level Pilpres. Mengapa? Sebab potensi Indonesia bubar seketika terwujud begitu PDIP menang Pilpres. Berikut ini dasar asumsinya:
Mulai tahun ini hingga tahun depan semua kepala daerah akan habis masa jabatannya. Selama menanti pemilu 2024, yang memimpin daerah adalah Pjs. Yang berwenang menentukan siapa Pjs adalah Mendagri. Sedangkan Mendagri adalah perwakilan PDIP dalam kabinet Jokowi saat ini.
Itu artinya apa? Di atas kertas. PDIP sudah menguasai medan laga. Pemilu serentak berlangsung pada Senin, 14 Februari 2024. Bayangkan apabila akibat medan laga dikuasai PDIP seluruhnya, PDIP menuntut PJs bekerja untuk memenangkan PDIP di wilayahnya masing-masing! Bukankan itu berarti potensi menang mutlak seketika tersaji?
Bila kemenangan itu dikonversikan menjadi perolehan kursi di DPR, maka parlemen dikuasai secara mayoritas. Calon presidennya pun ikutan berpeluang untuk menang.
PDIP menang Pilpres tanpa berkoalisi itulah hendaknya jadi kecemasan kita semua. Sebab, bukankah itu berarti tak ada ruang bagi PDIP untuk mendengar parpol lain lagi saat berkuasa? Seandainya PDIP menang karena berkoalisi tentu ruang itu akan tetap ada. Hal itu bisa kita saksikan dalam 2 periode pemerintahan Jokowi yang diusung PDIP menggunakan skema koalisi saat ini.
Tapi menang tanpa koalisi? Belum pernah terjadi, bukan?
Tak Berkoalisi, Tak Ada Ruang Tawar-menawar
Karena belum terjadi, tapi potensinya terbuka nyata saat ini, yang dikuatirkan tentu saja dampaknya bagi negeri. Jika Senayan dikuasai secara mayoritas, sedang yang jadi presiden adalah orang PDIP juga, siapa kemudian yang jadi pengawas jalannya pemerintahan? Apa bedanya dengan negara monarki absolut?
Tiba saatnya membuat kebijakan publik dalam bentuk UU atau Kepres/Perpu, jelas tak akan ada tawar-menawar lagi di sana. Ujung-ujungnya adalah jalannya negara jadi tergantung sepenuhnya pada apa mau Ketum PDIP. Jika yang jadi Ketum masih orang dengan kualitas integritas seperti Megawati mungkin akan baik-baik saja. Namun jika yang jadi Ketum adalah orang yang mudah menggadaikan integritas di hadapan godaan menggiurkan, tamatlah riwayat Indonesia.
Maka, biar kekuatiran-kekuatiran ini tidak akan terjadi, berharap saja bahwa:
- PDIP akan berkoalisi dengan setidaknya 2 parpol lain dalam mengusung capres, jangan sampai tampil solo.
- Kalaupun tidak berkoalisi, jangan sampai Ganjar diusung PDIP. Sebab, itu artinya magnet kemenangan untuk PDIP makin berlipat ganda.
Sebaliknya, bila tetap usung calon sendirian, legislatif menang mutlak, para BSH tentu akan cari cara supaya hasil pemilu dianulir baik dengan cara konstitusional pun kontrakonstitusi. Pilpres 2019 saja kayak apa suasananya padahal itu hasil koalisi.
Jadi, intinya PDIP jangan sampai tampil solo dalam mengusung capres. Jika tidak, tahun 2024 itulah tahun terakhir Indonesia eksis. Tak tunggu tahun 2030 merah putih tetap berkibar gagah.
CATATAN Khusus dari Penulis
Motif kami menulis ini jangan sampai disimpulkan kalau kami antipati terhadap PDI P. Yang kami hendak cegah adalah PDI P menguasai parlemen sendirian, menang Pilpres pula tanpa berkoalisi. Bagi kami, itu sama saja membiarkan negara berjalan secara monarki absolut. Idealnya ada perimbangan kekuasaan antara pengawas pemerintahan (legislatif/DPR) satu sisi dan penyelenggara pemerintahan (eksekutif) di sisinya yang lain.
Di atas kertas saat ini, PJS yang akan jabat sebagai kepala daerah adalah titipan kemendagri. Siapa menjamin bahwa para PJS itu bukan pesanan PDIP demi medan laga demokrasi pada 2024 nanti? Konon, Kemendagri adalah jatah PDIP di kabinet yang sedang berjalan saat ini. Sedangkan, Pilpres dan Pileg nanti di tahun 2024 dilaksanakan di hari yang sama, tepat ketika yang jadi kepala daerah masih merupakan para PJS di mana-mana.
Tidakkah ini menguatirkan akan munculnya kekuasaan yang terlihat demokratis-konstitusional di proses pemilihan, namun ujung-ujungnya melahirkan kekuasaan monarki kepartaian? Kami tak ingin itu terjadi karena potensial untuk dijadikan alasan untuk anulir pemilu oleh yang tak legowo. Belum nanti dalam menjalankan roda pemerintahan, negara dijalankan tanpa fungsi pengawasan yang memadai dari unsur legislatif. Jadi, sebaiknya PDIP mesti dicegah mengusung capres/cawapres tanpa berkoalisi.
Bukan begitu?
________
Saya Aven, pegiat literasi media dan digital, pelontar tagar #WarasBernegara, #SayaSPARTAN
_______________