Johnny Plate, Menterinya Buzzer dan Semesta Internet Kita

Menjadi buzzer itu tak beda dengan menjadi juru warta. Hanya saja buzzer itu lebih ke arah membangun image entah terhadap sebuah produk pun terhadap seseorang.

Buzzer dan Johnny Plate
Johnny Plate, Menteri urusan buzzer?

Tulisan ini khusus saya persembahkan lebih dimaksudkan untuk mengedukasi pembaca guna memahami akan apa yang namanya buzzer. Maka, sebagai bahan, ingin kupakai komentar 2 pembaca pada artikel saya beberapa bulan silam di portal SEWORD.com.

Untuk itu, sebelum simak lebih jauh, ada baiknya teman-teman pembaca menuju link tulisan itu dulu berikut ini.

Nah, atas tulisan tersebut, ada 2 koment yang menurut saya perlu saya tanggapi. Tadinya hendak ditanggapi langsung di kolom komen tersebut, apa daya akun Disquss saya terkunci untuk komen di situ. Berikut ini tangkapan layar atas komen kedua saudara terebut. Lihat yang saya lingkari.

Apakah hina menjadi buzzer?

“Lha, komentar begitu saja kok mesti ditanggapin tho, Ven?” Begitu mungkin bathin teman-teman pembaca. Tak salah, komentar keduanya memang receh, ngasal dan sangat jelas menunjukkan kebodohan diri. Jadi, tak sepatutnya saya tanggapin.

Namun, bukan masalah receh atau tidaknya. Saya merasa perlu bikin tulisan ini karena hendak meluruskan pemahaman kita tentang apa itu buzzer supaya saat menyebut kata buzzer setidaknya paham maknanya, ga asal bacot seperti kedua komentar tersebut.

Saya berani sebut keduanya asal bacot karena penggunaan kata buzzer yang tak tepat oleh keduanya. Mereka menyebut saya buzzer tapi serentak menyinyir seolah itu salah. Kesan yang ditangkap dari komentar keduanya adalah seolah menjadi buzzer itu menjadi penyebar kebohongan, mengada-ada, tak sesuai kenyataan.

Pemahaman keliru adalah sumber dari sakit mental dalam bermedia sosial. Kebanyakan, ngebacot dulu, yang penting birahi ketidaksukaan tuntas terlampiaskan. Giliran disodori bukti bahwa yang disampaikan sesuai dengan fakta, boro-boro meminta maaf karena telah berucap yang keliru, yang ada malah ngilang.

Sayang, berkomentar di media itu tak sama dengan berkomentar lisan. Kalau lisan, selesai berucap, jejak ikut hilang tersapu angin. Di media, sekali anda berkomentar selamanya jejakmu tertinggal.

Jejak yang tertinggal itu tak ubahnya dengan kadal. Perhatikan saja! Begitu merasa insecure, kadal menghilang, namun biar tubuh utuhnya tak terus-terusan dikejar predator, ekornya pun dia lepas lalu tinggalkan.

Demikian pula yang mentalnya sakit saat berkomentar. Sadar bahwa komentarnya salah, dibiarkan begitu saja, boro-boro minta maaf.

Maka, biar tak mudah menyebut seseorang adalah buzzer namun tak paham akan makna buzzer itu apa, tulisan ini perlu saya terbitkan.

Menjadi Buzzer, Apakah Hina?

Buzzer, jika ditampilkan secara grafis dalam apa yang dinamakan dengan Social Network Analysis (SNA), akan tampak seperti gelembung-gelembung busa sabun yang beterbangan di udara. Perhatikan gambar-gambar berikut!

Ketampakan kata kunci yang dimainkan buzzer dalam mesin Social Network Analysis (SNA)

Di atas merupakan contoh dari hasil presentasi grafis akan sebuah kata kunci di internet. Kaitan penyebutan kata-kata kunci antara yang satu dengan yang lainnya itulah yang bertanggung jawab atas viralnya sesuatu. Itulah fungsi buzzer. Jadi, apa itu buzzer?

Buzzer itu dari kata buzz dalam bahasa Ingris yang artinya berdengung. Maka, buzzer berarti pendengung. Nah, apakah yang didengungkan merupakan sebuah kebohongan atau fakta, itu tergantung motif.

Fakta bahwa di sekitar kita ada yang berdengung untuk menyampaikan kabar bohong demi datangkan decak kagum pada sosok yang dibuzzerinya, itu saya akui memang ada. Mereka bahkan ada yang dibayar demi tersebarnya sebuah kabar bohong yang didisain.

Namun, tak semua buzzer demikian adanya. Dan, saya berani bersumpah kalau saya bukanlah bagian dari yang dibayar untuk sampaikan kabar bohong ke publik demi datangkan decak kagum untuk sosok yang saya angkat.

Menjadi buzzer bagi saya itu tak dibayar pun akan saya lakukan jika itu menyangkut kinerja apik seorang sosok. Kebetulan saja yang diangkat di tulisan itu kemarin adalah sosok seorang Johnny Plate.

Jika karena mengangkat isu mengenai Johnny Plate itu yang dipermasalahkan, betapa tidak tahu dirinya yang mempermasalahkan. Saya toh yang punya hak untuk mengangkat isu tentang apa atau siapa.

Jika yang saya angkat ternyata sebuah kebohongan, barulah boleh dipermasalahkan dan saya terbuka akan koreksi.

Maka, apakah yang saya sampaikan di tulisan kemarin itu bohong atau fakta adanya? Itulah yang seharusnya dipersoalkan. Bukan persoalkan saya buzzer.

Tak Beda dengan Juru Warta

Sebab, menjadi buzzer itu tak beda dengan menjadi juru warta. Kalau pun ada kekhususannya, paling-paling buzzer itu lebih ke arah membangun image entah terhadap sebuah produk pun terhadap seseorang. Ada penjurusan di situ, tak bersifat umum.

Sementara juru warta itu melaporkan sebuah peristiwa apa di mana pas kapan yang menyangkut siapa. Sifatnya lebih ke umum.

Jadi, ringkasnya menjadi buzzer itu baik adanya sebagaimana pula wartawan adalah baik adanya. Keduanya menjadi tak baik jika difungsikan untuk hal yang mendatangkan kerugian atau keburukan semisal menyebarkan kebohongan.

Nah, apakah yang saya sampaikan kemarin di artikel itu merupakan sebuah kebohongan? Jika iya, bagian yang mana?

Faktanya, soal internet kita yang lelet itu memang betul. Kita paling lelet seasia tenggara. Hal itu terjadi karena negara kita adalah negeri kepulauan.

Ketersediaan infrastruktur penunjang internet cepat tidak sama antara pulau yang satu dengan lainnya.

Singapura dan Brunnei bisa kenceng karena cuma 1 daratan saja. Lha, kita? Jadi ya wajar kalau ketika diglobalkan berdasarkan kenegaraan, kita terlelet.

Maka, jika kemudian Johnny Plate persiapkan Satelit Satria-1 untuk menyambungkan negeri sehingga tak ada lagi blank spot internet di wilayah Nusantara ini wajar dong kalau diberi apresiasi.

Sebab, demi menunjang terciptanya tol udara seperti yang dicanangkan Jokowi. Satelit Satria-1 disiapkannya. Cek berita dari media mainstream berikut!

Laporan ketuntasan pengerjaan Satelit SATRIA beberapa bulan lalu.

Apakah terhadap fakta-fakta itu saya disalahkan bila mengapresiasi Menteri Kominfo kita Johnny Plate? Saya pikir yang salah itu bukan di saya tapi di jiwa-jiwa kerdil yang tak sanggup berkata benar sebagai benar, salah sebagai salah.

Kaum fakir nalar begitu tak akan mampu mengapresiasi kinerja apik orang lain jika dasarnya tidak suka. Sebaliknya, jika suka, seseorang berbuat salah pun tetap disanjung puji.

Saya tak sakit jiwa. Karenanya saya perlu mengaku bahwa dulu di awal keterpilihan Johnny Plate, saya sempat dihinggapi rasa psimis akan kemampuannya.

Latar belakangnya yang politisi dan bukan praktisi IT, sempat membuat saya ragu. Namun, seiring berjalannya waktu, keraguan saya berangsur-angsur sirna.

Saya pun lantas berbangga bahwa sebagai sesama putra kelahiran NTT, Johnny Plate mendedikasikan segenap kemampuan yang beliau miliki demi bangsa dan negara ini.

Sampai di sini, mudah-mudahan tak ada lagi yang salah paham tentang apa itu buzzer, ya! Makasih.

Salam literasi,

Saya Aven, pegiat literasi media dan digital, pelontar tagar #WarasBernegara, #SayaSPARTAN

Exit mobile version