Ibu korban di Tasikmalaya yang mengalami perundungan hanya bisa berharap bahwa jangan sampai ada anak lain jadi korban. Sayangnya kejadian seperti ini kerap berulang. Itulah realita anak-anak generasi digital yang terobsesi besar membuat konten agar viral tanpa menghiraukan etika, norma atau sopan-santun. Literasi digital serta pembentukan karakter menjadi bagian penting bagi generasi saat ini sehingga diharapkan jangan sampai ada kejadian lagi.
Jadi belum lama ini ada kejadian mengenaskan dialami oleh seorang siswa berusia 11 tahun di Tasikmalaya. Bocah sekolah dasar (SD) di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, tersebut diviralkan teman-temannya dengan terlebih dahulu dipaksa melakukan tindakan yang sangat menjijikkan. Jadi korban dipaksa menyetubuhi kucing oleh teman-temannya. Kejadian itu direkam menggunakan ponsel oleh pelaku. Rekaman tersebut kemudian tersebar.
Dampaknya ke korban sangat dahsyat. Korban lalu mengalami depresi serta tidak mau makan dan minum. Korban sempat mengeluhkan sakit tenggorokan kepada ibunya. Hingga akhirnya korban meninggal dunia saat dirawat di rumah sakit pada Minggu (18/7/2022). https://bandung.kompas.com/read/2022/07/21/152000878/dipaksa-setubuhi-kucing-bocah-sd-di-tasikmalaya-depresi-hingga-meninggal-ibu?
TKP yang terjadi di Jawa Barat kembali menunjukkan provinsi ini masuk 3 besar provinsi yang tingkat kekerasan anak tertinggi di Indonesia. Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) membeberkan provinsi dengan jumlah korban kekerasan tertinggi di Indonesia adalah Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Kemendikbudristek dan Kominfo sepatutnya melakukan ‘jewer’ digital kepada penyelenggara sekolah di negeri ini. Statistik menunjukkan kekerasan pada siswa di terus berulang dan bahkan waktu lalu ada kejadian yang patut disesalkan. Selevel pejabat dinas pendidikan sampai mencari alasan untuk pembenaran atas konten kekerasan yang siswa di Makassar yang sempat heboh awal tahun ini.
Survei mencatat bahwa 3 dari 10 anak laki-laki dan 4 dari 10 anak perempuan di Indonesia usia 13-17 tahun pernah mengalami satu atau lebih jenis kekerasan sepanjang hidupnya. Dan itu berarti masa sekolah di SD sampai sekolah menenegah menjadi masa rawan terjadinya perundungan yang berdampak sangat fatal.
Sekolah dan lingkungan pertemanan menjadi tempat yang horor bukan tempat yang aman. Banyak kekerasan yang menanti yaitu kekerasan baik secara emosional atau kekerasan psikis. Bahkan data menunjukkan hal yang mengagetkan bahwa tindak kekerasan itu, 34,74 persen dilakukan oleh guru dan 27,39 persen dilakukan oleh teman atau pacar.
Karena itu sangat penting pendidikan karakter bagi murid agar mereka ketika berelasi dan berinteraksi akan punya rem yang pakem ketika menghadapi godaaan demi godaan di era digital saat ini. Perlindungan kepada anak sejak dini harus ditanamkan oleh para pendidik di sekolah bekerja sama dengan orang tua.
Berharap pihak guru, lingkungan dari anak-anak bermain atau beraktifitas juga perlu mendapat perhatian orang tua. Sayang, anak-anak masa depan bangsa terenggut hidupnya secara sia-sia karena aksi dan nafsu membuat konten yang tidak bertanggung jawab!