Kekerasan dan pelecehan seksual di Indonesia bukan hal baru. Tragisnya, di tengah masyarakat yang dikatakan berakhlak ini ada kecendrungan kasus-kasus yang ada dipandang sebelah mata, dan menormalisasi tindakan tak bermoral ini. Padahal di tahun 2020 kasus pelecehan/ kekerasan seksual di Indonesia menjadi yang tertinggi yaitu sekitar 7191 kasus
Definisi Kekerasan Seksual
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kekerasan seksual diartikan sebagai perilaku atau tindakan yang terkait dengan seks secara non konsensual atau tak diinginkan. Tetapi, berdasarkan Pasal 1 ayat 1 UU Penghapusan Kekerasan Seksual, definisi kekerasan seksual adalah:
“Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.”
Jika melihat angka kasus harusnya ngeri. Tetapi ironisnya penderitaan yang dialami korban seolah tidak cukup. Bagaimana tidak karena 50% responden yang pernah mengalami pelecehan/ kekerasan seksual, ternyata memutuskan untuk tidak melaporkan. Alasannya beragam, dimulai dari tidak tahu harus melapor ke mana, takut, malu, dan anehnya lagi rasa bersalah.
Keadilan yang dicari oleh para korban pun kerap menjadi boomerang ketika berujung suara sumbang pelecehan atau kekerasan seksual bukan dikarenakan oleh pelaku, tetapi karena korban yang terlalu genit, suka sama suka, menggoda, dan tidak bisa menjaga diri. Masih banyak lagi sedertet bla…bla…dan bla…yang intinya seluruh kesalahan justru ditimpakan kepada korban!
Sadis! Ibarat jatuh ketimpa tangga, sekaligus kejedot dinding bersamaan. Bahkan ketika sudah melaporkan, bukannya mendapat keadilan, justru mendapatkan hukuman karena terjerat kasus pencemaran nama baik! Disinilah harapannya juga Undang – Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) seharusnya juga mampu melindungi para korban, dari jeratan pasal lain yang “mungkin” diajukan bahkan oleh pelaku.
Belum lama ini sederet pelecehan/ kekerasan seksual tetiba menarik perhatian kita antara lain “ustad cabul” Herry Wirawan pemilik pondok pesantren di Bandung, Julianto Eka Putra (JE) pendiri sekolah SMA Selamat Pagi Indonesia (SPI) di Malang, dan yang terakhir Moch Subchi Azal Tani (MSAT) alias Mas Bechi anak Kyai pendiri pesantren di Jombang. Ketiganya memiliki kesamaan terjadi di lingkungan pendidikan dan dilakukan oleh orang yang “dihormati” si korban, yang notabene anak-anak peserta didik dan dibawah umur.
Jelas butuh keberanian dari para korban untuk kengerian ini terungkap! Merujuk kasus Sekolah SPI misalnya, kejadian tersebut sudah berlangsung sejak 2009 sebelum akhirnya terungkap. Jumlah korban tercatat pun terbilang banyak, 15 anak! Dahsyatnya kasus ini terbilang alot karena terdakwa JE baru dijebloskan ke penjara pada Senin, 11 Juli 2022. Meski sebelumnya JE telah didakwa ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara pada persidangan yang berlangsung di Pengadilan Negeri Malang, Rabu 16 Februari 2022 lalu.
Alasannya, karena JE kooperatif! Wow…terbayang tidak bagaimana perasaan dan dampak psikologis para korban? Apalagi ini terjadi di institusi pendidikan kepada anak di bawah umur! Mereka ke sana untuk meraih mimpi, dan bukan dijadikan mesin seks!
Kooperatif yang bagaimanakah yang dimaksudkan disini sehingga seorang terdakwa maksimum 15 tahun penjara masih sempat berada di luar jeruji besi? Sepadankah dengan apa yang telah dirampas dari para korban? Atau mau mengatakan mereka para korban sedang mengarang bebas?
Buat yang belum tahu dan tidak mau tahu, ada baiknya buka sedikit nurani. Demikian dampak yang dialami korban pelecehan/ kekerasan seksual:
- Dampak Fisik
Dampak fisik anak perempuan ada pada area genital anak. Apalagi jika kemudian terjadi kehamilan. Kemudian, kemungkinan tertular penyakit seksual, sifilis, gonore, bahkan bisa terserang virus HIV. - Dampak Psikis
Anak mengalami depresi, kecemasan, gangguan stres pasca trauma atau PTSD, gangguan makan, dan masalah seksual. Demikian juga di masa depannya akan berakibat fobia terhadap hubungan seks, atau bisa juga terbiasa melakukan kekerasan pada saat berhubungan seksual. Hal terngeri yang bisa terjadi, anak melukai diri sendiri hingga bunuh diri.
Terlepas apakah pelecehan ataukah kekerasan seksual, faktanya ketimpangan hukum terhadap kasus sejenis masih tidak memberikan rasa keadilan. Terbukti, beberapa kasus hingga korban merasa perlu mencari keadilan lewat media sosial!
Terpikir tidak oleh para penegak hukum yang terhormat, bagaimana tercabik-cabiknya korban untuk kesekian kalinya? Mimpi dan harapan mereka terengut paksa oleh orang yang seharusnya melindungi mereka!
Miris menemukan fakta sejauh ini hukum serasa timpang. Padahal, bukankah sejatinya negara melindungi? Tidak seharusnya kehormatan para korban pelecehan/ kekerasan seksual ditentukan oleh bola liar yang dimainkan di persidangan. Ini menyedihkan sekali! Kenapa justru keadilan jadi menjauh dari korban?
Kasus JE pendiri Sekolah SPI akan kembali disidangkan pada Rabu, 20 Juli 2022. Semoga para penegak hukum berdiri diatas hukum dan kebenaran! Tidak menjadi abu-abu! Sebab jika tidak, ini artinya secara sadar negeri ini membiarkan predator seks menginjak hukum di republik ini.
Saya, Gendhis yang mencintai negeri ini.
_____
*Gendhis, pegiat literasi media, pendukung tagar #WarasBernegara, #SayaSpartan
Sumber