Apa yang Anda rasakan ketika berada di Gereja, sedang berdoa dengan khusuk, lalu ada anak-anak yang menderita autis (autistic kids) atau hiperaktif berlarian di sekitar Anda? Apa yang akan Anda lakukan? Saya yakin, Anda pasti merasa sangat terganggu. Dan pasti Anda akan melakukan sesuatu, kan?
Mungkin ada yang diam saja, tetapi mata melirik tajam ke anak-anak tersebut. Mungkin bukan hanya melirik, tapi melotot. Melototi ke mana anak itu pergi. Dan ketika sudah sampai ke orang tuanya, mata Anda melirik tajam ke sang orang tua. Seakan-akan menyindir, “Tolong, ya. Anaknya diatur, mengganggu saja.”
Atau mungkin ada yang langsung menegur anak-anak tersebut. Tentu saja dengan berbisik, tapi dengan suara tajam. “Shttttt…. Tolong tenang. Ada yang sedang berdoa.”
Mungkin juga ada yang langsung menegur orang tuanya. “Bapak Ibu, mohon anaknya diajak tenang. Kami sedang berdoa.”
Saya yakin, aka nada banyak orang yang senang dan memuji tindakan Anda. Mengacungkan jempol sambil tersenyum. Lalu kita melanjutkan sikap khusuk kita. Tangan di depan dada, dan mendengarkan apa yang didoakan atau dikatakan oleh Pastor.
Dalam sikap kita seperti itu, saleh secara ritual, kita melupakan kata-kata Yesus yang mengatakan “Biarlah anak-anak ini datang kepadaKu.”
Dalam keadaan seperti ini, kita mengalami dilema. Di satu sisi, kita ingin khusuk dalam berdoa. Ingin mendekatkan diri pada Tuhan. Tapi pada saat yang lain, ketika ada anak-anak seperti itu, yang tidak bisa tenang, selalu lari-larian dan kejar-kejaran, kita juga ingat sabda Yesus itu. Lalu bagaimana sikap kita?
Paus Fransiskus, dalam audiens dengan umat dari berbagai negara membiarkan anak-anak yang menderita autis berlari-larian di panggung. Bahkan ada yang meminta topi Paus. Apakah Paus marah? Apakah Paus terganggu?
Menarik mendengar apa yang dikatakan oleh Paus Fransiskus tentang anak-anak ini.
“Anak-anak ini adalah anak istimewa. Bunga yang indah di hamparan dunia ini.”
“Mereka adalah anak-anak yang bebas. Kebebasan yang tidak berdisiplin.” Paus mengatakan itu sambil tertawa. Tapi dia juga melanjutkan dengan sebuah pertanyaan reflektif.
“Apakah saya sebebas itu di hadapan Tuhan? Jangan-jangan, ketika Tuhan mengatakan bahwa kita harus seperti anak kecil jika ingin masuk ke Kerajaan Surga, Tuhan ingin kita menjadi orang-orang yang bebas.”
Dan mungkin yang tidak banyak orang ketahui, anak-anak yang berlarian di Gereja itu merupakan anak-anak yang istimewa. Anak-anak yang bebas, dan mungkin mengalami suatu masalah. Mungkin ada yang autis, mungkin ada yang mengalami speech delayed, atau gangguan yang lain yang tidak kita ketahui. Hanya orang tua dan Tuhan yang tahu.
Dan untuk hal seperti ini, Paus Fransiskus tidak menegur anak-anak yang berlarian di panggung, di sekitar dirinya ketika dia sedang audiensi. Dia bahkan mengatakan, “Apakah kita pernah mendoakan anak-anak ini? Apakah kita pernah mendoakan orang tua mereka supaya mereka dikuatkan dalam mendidik anak-anak ini?”
Kita sering menghakimi anak-anak yang berperilaku seperti itu tanpa melihat apa yang menyebabkan mereka seperti itu. Kita tidak tahu, bagaimana menderitanya orang tua mereka. Mereka ‘menderita’ karena anak-anaknya unik, berbeda dengan anak-anak yang lain sehingga memerlukan effort yang lebih untuk mendidik mereka. Belum lagi tatapan sinis dari orang-orang yang merasa terganggu dengan tingkah anak-anak mereka.
Pesan Paus ini menyentuh. Sudahkah kita mendoakan anak-anak itu? Sudahkah kita mendoakan orang tua mereka?
Jika kita bisa mendoakan musuh kita, orang yang membenci kita, mengapa kita tidak dapat mendoakan anak-anak itu beserta keluarganya? Atau kalau tidak, dukunglah mereka dengan memahami dan tidak menghakimi.
Akan tetapi, pesan Paus ini kadang tidak atau kurang dipahami dan dijalankan oleh para Pastor di paroki-paroki. Sering kali mereka marah dan menegur anak-anak tersebut, bahkan menegur orang tua tanpa mengetahui bagaimana sulitnya para orang tua menyuruh anak mereka untuk diam.
Bahkan kadang tegurannya sangat keras dan menyakiti hati orang tua. Orang tua dianggap tidak mampu mendidik anak-anak untuk disiplin di dalam Gereja. Para Pastor ini tidak tahu betapa terlukanya orang tua. Dan itu membuat para orang tua menjadi takut untuk mengajak anak-anaknya ke Gereja.
Dalam hal ini, kita sudah menjauhkan anak-anak dari Gereja. Jika kita seperti ini, bagaimana nasib Gereja di masa depan? Bagaima seandainya nanti, saat pengadilan kekal, anak-anak ini mengadu ke Yesus bahwa mereka dilarang untuk ke Gereja? Apa yang akan kita lakukan?
Saya teringat seorang Pastor di paroki saya. Suatu hari, saat Misa hari Minggu, ada seorang anak yang naik ke panggung di depan altar. Anak itu jongkok dan melihat ke atas, melihat kipas angin yang berputar di langit-langit.
Spontan sang Pastor menjadikan anak itu sebagai sebuah bahan renungan. “Lihatlah anak ini. Dia datang ke depan, menghadap Tuhan ke depan altar. Kepalanya mendongak ke atas, menatap Tuhan. Dan hendaklah kita seperti anak ini, yang tidak takut mendekati Tuhan dan menatap wajahNya yang penuh belas kasih.”
Saya, yang kebetulan adalah ayah anak tersebut, menjadi terharu. Menjadi dikuatkan. Seandainya semua Pastor seperti beliau, yang tidak marah ketika ada anak yang seperti itu.
Hal seperti ini tidak hanya terjadi di lingkungan Gereja, atau agama Katolik saja. Saya yakin, di semua agama, hal seperti ini terjadi. Dan pertanyaan untuk kita, pernahkah kita mendoakan mereka?
Salam sehat Indonesia
Nugraha, pegiat literasi dan ayah dari anak-anak yang unik dan istimewa
Sumber:
https://www.youtube.com/watch?v=aURMiVpEeH8
https://www.youtube.com/watch?v=MbADrcePkvQ
https://www.youtube.com/watch?v=aURMiVpEeH8
https://apnews.com/article/pope-francis-vatican-city-016565d95706c48e7198014f3657b3c7