Ketika kita ditanya, apakah manusia itu? Pasti akan muncul berbagai macam jawaban. Ada yang menjawab bahwa manusia adalah binatang berjalan dengan 2 kakinya. Yang membedakannya dengan binatang adalah dia memiliki akal budi yang dapat membedakan yang baik dan yang tidak baik.
Ada yang menjawab manusia adalah gambaran dari citra Allah yang menciptakan manusia. Karena dia adalah gambaran atau citra Allah, manusia akan hidup dalam kekudusan dan akan berbuat kebaikan pada setiap orang.
Apakah Anda setuju dengan 2 pendapat di atas? Jika tidak, silahkan berpendapat. Jika setuju, ucapkan ‘setujuuuu’.
Karena manusia berakal budi, dan merupakan gambaran dari Sang Pencipta, dia akan berusaha selalu berbuat baik. Karena Sang Pencipta adalah Sang Kebaikan sendiri.
Saat ini kita melihat ada banyak kasus yang menggoncangkan nilai kemanusiaan kita. Kisah yang membuat hati kita teraduk-aduk. Bertanya-tanya dan berharap bahwa semua itu bukanlah kenyataan.
Tetapi kekecewaan yang kita dapatkan. Kisah itu tidak berubah. Kisah itu bukanlah mimpi. Kisah itu nyata adanya. Kisah tentang pupusnya sebuah harapan, tentang hancurnya sebuah masa depan.
Di banyak tempat kita mendengar ada kisah tentang guru mencabuli siswanya. Menjadi sangat ironis karena yang melakukan adalah guru yang dipandang memiliki nilai religiusitas yang lebih baik dibanding guru yang lain.
Bukan hanya 1 atau 2 orang siswa yang menjadi korbannya. Jauh lebih banyak dari itu. Belasan. Bahkan ada yang lebih dari 20 orang.
Para siswa itu datang ke sekolah, tinggal di asrama sekolah atau di pesantren dengan membawa segudang harapan dan cita-cita. Mereka ingin menjadi orang yang lebih baik, menjadi orang yang bisa menaikkan derajat orang tua mereka.
Di benak mereka, tidak ada sedikitpun kecurigaan pada guru-guru mereka. Mereka percaya, guru-guru mereka adalah orang-orang baik. Guru-guru mereka adalah pengganti orang tua mereka. Bahkan mereka menganggap guru-guru mereka adalah wakil Tuhan di dunia.
Namun ternyata justru guru merekalah yang menghancurkan harapan dan cita-cita mereka. Memberikan pengalaman traumatis yang tak dapat dilupakan seumur hidup mereka.
Mereka ingin memutar jarum jam agar pengalaman yang mereka alami tidaklah terjadi. Tapi itu semua hanyalah impian. Bukan suatu kenyataan. Hidup mereka berubah. Harapan mereka tinggallah angan. Tubuh mereka tidaklah suci lagi. Dihancurkan secara tidak manusiawi oleh orang yang mereka percayai.
Ketika para siswa mengalami hal seperti itu, mengalami kehancuran harapan dan menderita trauma yang berkepanjangan, apakah yang terjadi dengan para pelaku?
Hukuman yang paling berat adalah harapan banyak orang. Harapan orang tua dan harapan si korban. Waktu tidak bisa diulang. Harapan tidak lagi bisa ditumbuhkan karena sudah dipupuskan. Dan hukuman bagi orang yang memupuskan harapan itu adalah hukuman mati seperti yang dijatuhkan pada seorang ustadz di Bandung.
Namun, ada juga yang tidak ditahan. Bahkan sampai saat inipun masih lenggang kangkung ‘berkeliaran’ tanpa ditahan pihak kepolisian. Bagaimana tanggapan Anda atas hal ini?
Ketika kita melihat bagaimana penderitaan yang dialami oleh para korban, kita mungkin merasa kasihan dan merasa marah pada pelaku. Kita ingin pelaku dihukum seberat-beratnya.
Tetapi ketika pelakunya ternyata tidak dihukum, bahkan tidak ditahan, bagaimana perasaan kita? Marah? Gemas?
Rasa marah dan gemas tidak akan menyelesaikan masalah. Kita perlu bertindak jika melihat hal-hal yang seperti ini. Berkaca pada kasus kekerasan seksual di sebuah sekolah di Batu, bagaimana tindakan kita?
Mari kita dorong kepolisian untuk menuntaskan kasus ini secepatnya agar pelaku dapat dihukum dan para korban mendapatkan keadilan yang menjadi hak mereka.
Salam sehat Indonesia
Nugraha, pegiat literasi media
#WarasBernegara
#SayaSPARTAN
Sumber:
https://id.wikipedia.org/wiki/Manusia
https://www.merdeka.com/peristiwa/pemerkosa-layak-dihukum-mati.html