Keintiman personal antarmanusia telah dinilai jadi tumbal akibat kehadiran ponsel pintar. Bagaimana tidak, sejak awal kehadirannya, ponsel sukses menciptakan jarak ril antarmanusia. yang tepat berada di dekatnya. Cium tangan, kening dan cipika-cipiki telah berganti jadi “Helo gaes…”, dll. Apakah kita perlu menangisi kondisi ini? Ucapkan saja, “Selamat datang era digital”, alih-alih berlaku konyol menangisinya. Mengapa? Mari disimak!
Di era serbadigital ini, siapa kemudian yang sok tidak butuh HP? Kajian Kominfo, perangkat pintar ini nyatanya pada 2017 yang lalu saja telah dimiliki oleh 66,3% penduduk Indonesia. Itu baru satu produk peradaban era digital sekaligus primadonanya. Bagaimana bila survey itu dilakukan tahun sekarang? Tentu sudah bertambah dengan signifikan.

Diyakini meningkat signifikan, salah satu faktor pendorongnya adalah karena wabah Covid selama hampir 3 tahun terakhir. Namun, tanpa adanya Covid, kenaikan tingkat kebutuhan masyarakat akan ponsel tentu tetap bertambah mengingat efektifitas penggunaannya. Namanya juga sudah memasuki era serbadigital.
Yang namanya peradaban, selalu berjalan maju karena teknik penguasaan hidup berkembang dari saat ke saat. Tiba pada peradaban serbadigital adalah keniscayaan. Justru yang mustahil adalah kita kembali ke zaman batu, segala sesuatunya serbabatu, tinggal di gua-gua dari batu, berburu makanan juga bersenjatakan batu termasuk membuat api untuk memanggang daging buruan.
Jadi, jika tanpa satu kondisi yang teramat ekstrim semisal satu meteor raksasa menabrak bumi dan memunahkan kita yang sudah kenal teknologi mutakhir menguasai hidup, mustahil peradaban manusia berlangkah mundur kembali ke awal peradaban.
Evolusi Peradaban Boleh Berubah, Kebutuhan Umat Manusia untuk Survive Berjalan Konstan
Satu setengah abad silam, Darwin mengguncang dunia dengan teori evolusinya. Menurutnya, kemampuan beradaptasi pada lingkungan yang baru adalah penyumbang terbesar terjadinya evolusi. Dengan kata lain, adanya kecenderungan dasariah setiap makhluk hidup untuk bertahan hiduplah yang membuat evolusi terjadi.
Barangkali, teorinya tersebut punya kelemahan sainstifik berkat kemajuan tekhnologi kepurbakalaan di belakang hari. Namun yang pasti dasar argumentasi dari teori tersebut sulit dibantah yakni semua organisme punya kecenderungan alamiah untuk bertahan hidup. Apakah kecenderungan itu berhasil memicu kera dan manusia berbagi arah evolusi dari satu induk yang sama, itu soal lain. Silakan palaentologi dan arkeologi menggalinya lebih jauh.
Yang pasti evolusi terpicu oleh kecenderungan untuk bertahan hidup masing-masing organisme. Manusia pun termasuk. Dari kecenderungan itu pulalah peradaban kemudian lahir karena manusia memiliki satu keunggulan yang tak dimiliki organisme lainnya yakni kemampuan berpikir. Oleh kemampuannya itulah, manusia dimungkinkan untuk menyempurnakan peradaban. Sampai akhirnya kini kita tiba di era digital. Gadget semisal ponsel pintar adalah salah satu buahnya.
Bahwa kemudian ponsel pintar berhasil mengubah pola interaksi sosial antarinsan, itu adalah tantangannya. Sementara, pemicu perubahan peradaban adalah hadirnya tantangan. Tanpa tantangan, peradaban juga sulit berlangkah maju. Maka, seharusnya sikap yang patut dikedepankan adalah menghargai buah peradaban, siasati tantangannya. Jangan karena ada tantangan, lalu buru-buru menilai hina peradaban yang baru dimasuki.
Harapannya, pandangan sinis terhadap penggunaan gadget makin melemah seiring mulai mengakarnya peradaban serbadigital karena prinsip evolusi tadi. Maka, keberadaan era digital patut diterima sebagai keniscayaan proses survival of the fittest ala Darwin itu.
Yang pasti, peradaban senantiasa berjalan maju, tak peduli apakah betul leluhur kita umat manusia sama dengan leluhurnya monyet seturut keyakinan Darwin. Bila ingin tetap survive, beranilah menyesuaikan diri dengan kondisi baru.
Penyesuaian diri itu malah boleh jadi akan memicu munculnya peradaban yang lebih baru lagi. Sebab, memang begitulah manusia dan peradabannya berjalan. Tak mampu beradaptasi, siap-siap saja menjadi sia-sia walau tadinya punya impian setinggi langit untuk menjadi siapa-siapa.
Era Digital, Alih-alih Mencibir Tantangannya, Mending Fokus pada Peluangnya
Sebelum liang lahat memanggil, pantang mengalah pada garangnya dunia! Tantangan era digital itu memang nyata, tapi tidak serta-merta membenarkan kita untuk menolak beradaptasi demi tetap survive di era baru. Justru seharusnya, fokus cari peluang demi survival of the fittestlah yang mendapat porsi besar sebab usur itulah yang paling menentukan keberhasilan kita bertahan hidup.
Di hadapan regu tembak yang mengepung, hanya ada satu pilihan jika mematung bertahan: mati. Tapi jika sikap bertahan diubah menjadi sikap melawan, maka akan ada dua kemungkinan yakni tetap akan mati ditembak atau malah terus hidup karena menang melawan musuh yang mengepung. Dengan kata lain, selalu ada kemungkinan lebih bagi mereka yang berusaha. Sebaliknya, hanya ada kata tamat bagi mereka yang diam menanti takdir.
Demikianlah, tantangan era digital tak pantas disikapi dengan memilih bertahan dengan peradaban sebelumnya. Ketika praktek jual beli dimudahkan oleh hadirnya e-commerce dan kita memilih bertahan tetap dengan konsep jualan konvensional sebelumnya, itu artinya tanda tangan untuk gulung tikar.
Menjawab Tantangan Menkominfo
Saya pikir, Menteri Kominfo kita Johnny Plate dan Presiden Jokowi sangat sadar akan tantangan era digital. Tapi kenapa kedua sosok ini getol promosikan e-commerce dan UMKM digital lainnya tentu karena mereka sudah sadar bahwa bertahan dengan cara konvensional adalah pilihan konyol di momentum perubahan peradaban saat ini. Mereka mengajak kita bertahan seperlunya, menjajal diutamakan. Itulah kebijaksanaan yang mesti dimiliki tiap pejabat publik, sebuah seni memimpin yang tak semua pemimpin bisa mengaplikasikannya.
Johnny Plate, sebagai Menteri Kominfo periode ini bahkan bertindak lebih jauh. Infrastruktur pendukung transformasi digital disiapkannya pada segala sektor. Satelit SATRIA diproduksi, Pusat Data Nasional dibangun pada 4 tempat sekaligus, tekhnologi 5G diadopsi pun pula serentak perjuangkan hak kekayaan jurnalistik (Publisher Rights) agar segera diundangkan. Kecakapan digital juga digelarnya gratis melalui program Digital Talent Scholarship (DTS). Masih juga dipungkasinya dengan rutin mengajak serta masyarakat untuk terlibat solid dalam mewujudkan transformasi digital yang inklusif.
Nyatanya, sultan-sultan baru dengan penghasilan tajir melintir bulanan kini lebih banyak datang dari mereka yang tak punya core business. Mereka kaya-raya justru karena berhasil memonetisasi akun-akun media sosial seperti youtube, facebook, tiktok, IG, Twitch, dll. Mereka adalah pejuang cuan yang alih-alih menangisi tantangan era digital malah bisa healing ke mana-mana karena punya mesin duit dari hasil monetisasi akun-akunnya.
Jadi? Memilih bertahan menunggu mati tergerus laju peradaban zaman atau ulet mencari peluang mendulang cuan di era baru ini? Kewarasan bernalarlah kuncinya. Anda punya, kan?(*)
Saya Aven, pegiat literasi, pelontar tagar #WarasBernegara dan #SayaSPARTAN
________
Rujukan: https://mediaindonesia.com/teknologi/481966/johnny-ajak-kolaborasi-wujudkan-transformasi-digital-inklusif