Pilpres, Duet Pemersatu Bangsa dan Rekonsiliasi Nasional

Penulis: Ignas Iryanto

Ganjar-anies

Ketua umum Nasdem Surya Paloh telah melemparkan suatu wacana ke publik terkait keinginannya untuk mendorong yang disebutnya duet pemersatu bangsa walaupun menyebut ada tiga duet: Puan – Anies Baswedan, Ganjar – Anies Baswedan dan Prabowo – Muhaimin Iskandar. Penulis kuat menduga bahwa yang dimaksud adalah duet Ganjar Pranowo dengan Anies Baswedan, mengingat dua nama itu yang muncul dalam konggres Nasdem. Motif utama ketum Nasdem ini sangat mulia sebenarnya yaitu untuk menciptakan Rekonsiliasi nasional, untuk mengakhiri polarisasi cebong –kadrun. Statementnya “lebih baik tidak ada pemilu jika memantik perpecahan bangsa”,   langsung ditanggapi oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Ashidiqi dengan contra statement yang menohok: Nasdem gak usah ikut pemilu saja. Menurut Profesor hukum tatanegara tersebut pernyataan Surya Paloh tersebut jelas bertentangan dengan tujuan utama dari pemilu yaitu agar rakyat dengan pendapat yang berbeda-beda tersebut dapat menyalurkan pendapatnya secara damai dalam pemilu sebagai bagian dari sistem politik yang dianut (demokrasi). Menurut pemahaman penulis, Prof Jimly mau mengatakan bahwa polarisasi pendapat adalah keniscayaan dalam pemilu dan tidak perlu ditakuti.

Menurut hemat penulis pendapat kedua tokoh ini sama benarnya. Surya Paloh sadar bahwa polarisasi Cebong-Kadrun yang terjadi masa pilkada DKI (era Ahok-Jarot vs Anies-Sandi) maupun masa pilpres terakhir begitu dahsyatnya sehingga menimbulkan luka perpecahan yang serius dalam tubuh bangsa, sementara Prof Jimly mengacu pada perbedaan pendapat rakyat yang normal terjadi dalam perhelatan demokrasi sepeti pemilu dan pilpres.

Mari kita jujur saja. Polarisasi Cebong-Kadrun tidak hanya berasal dari pilihan cara berkampanye atau dari pemilihan isu yang menjadi alat kampanye saja tetapi sebenarnya bersumber dari pilihan to be or not to be dari negara proklamsi 17 agustus 1945 dengan Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Polarisasi itu secara esensial bersumber dari pebedaan pilihan akan masa depan bangsa ini: apakah tetap pada dasar negara Pancasila atau bergeser ke radikalisme agama dengan pilihan pada khilafah. Perbedaan esensial inilah yang membuat polarisasi itu sangat dahsyat, ayat dan mayat masuk dalam pertarungan politik, fitnah hoax yang sangat jahat dijadikan instrumen politik yang sangat tidak beradab. Apakah ini fatamorgana penulis semata?

Coba kita check secara jujur kelompok kelompok mana yang menjadi aktor aktif dari polarisasi ini: HTI, FPI yang dalam pekembangan berbagai kasus hukum negeri ini terindikasi kuat berkaitan dengan ISIS di timur tengah. Menurut hemat penulis polarisasi yang terjadi tidak bersumber dari perbedaan pendapat yang normal-normal saja namun bersumber dari perbedaan yang sangat esensial yang menyangkut mati hidupnya negara Proklamasi NKRI berdasarkan Pancasila. Prof Jimly sangat mungkin melihat polarisasi itu tidak bersumber dari sesuatu yang sangat fundamental dan Surya Paloh menyadari resiko yang ada dari polarisasi yang bisa muncul yaitu terpecahnya rakyat  yang bisa berakibat pada terpecahnya bangsa dan negara. Yang membingungkan adalah jika bahayanya disadari lalu mengapa pak Surya Paloh masih mau mengambil resiko tersebut dengan menduetkan dua polar itu. Cara yang paling mudah dan sederhana adalah tidak membuka kemungkinan sama sekali terjadinya polarisasi itu. Salah satunya dengan menghapus kemungkinan munculnya polarisasi tersebut.

Mungkin justru di sanalah letak argumen utama dari ketum Nasdem ini, duet Ganjar dan Anies justru akan menghapus kemungkinan munculnya polarisasi tersebut. Cebong dan kadrun akan dikawinkan menjadi satu paket. Dwipolar akan menjadi monopolar, begitu mungkin harapannya.

Pertanyaan yang utama berubah menjadi apakah mungkin dua polar tersebut disatukan? Apakah polar Pancasila bisa dikawinkan dengan polar khilafah?

Menurut hemat penulis, jawabannya jelas banget. Itu bagaikan usaha mencampurkan minyak dan air dan berharap campurannya homogeny, hal yang tidak mungkin. Itu merupakan pilihan biner. Pancasila yes, khilafah no atau khilafah yes Pancasila no. Hanya itu pilihannya. Tidak ada setengah Pancasila dan setengah khilafah.  Namun mungkin para pendukung pikiran Surya Paloh masih akan membela diri bahwa Anies Baswedan bukan representasi khilafah… dia memang representasi dari kelompok politik Islam moderat yang setia pada Pancasila namun bukan kelompok pendukung khilafah.

Terkait Anies Baswedan, terdapat catatan dibawah ini:

  1. Dia didukung oleh tokoh-tokoh dan kelompok yang bukan saja menggunakan politik identitas namun lebih dari itu terindikasi kuat mencita-citakan terbentuknya negara khilafah di negeri ini. Walaupun kelompok kelompok itu seperti HTI, FPI sudah secara resmi dibubarkan, namun tokoh-tokoh serta para anggotanya masih aktif bergerak membawa cita cita tersebut.
  2. Dalam (salah satu) deklarasi dukungan pada pencalonannya sebagai capres sempat terjadi insiden ketika ada kelompok yang ingin memasang bendera HTI di depan dan ditolak oleh panitia penyelenggara. Dalam video yang viral itu, terdengar jelas bahwa panitia menolak bukan karena alasan substantif ideologis namun “agar tidak menyusahkan pak Anies”. Terkesan kuat bahwa itu hanya alasan taktis semata bukan alasan prinsip /ideologis.
  3. Anies pernah bersama beberapa tokoh Islam dalam acara Jaringan Nasional alumni TImur Tengah. Dalam video yang viral tersebut hadir juga Jusuf Kalla, ustad Abdul Somad, Bachtiar Nasir dan lain-lainnya. Bachtiar Nasir menyatakan bahwa khilafah akan bangkit di tahun 2024. Pertemuan ini dilakukan setelah nama Anies muncul sebagai balon Presiden dari partai Nasdem.

 

Ini adalah tiga catatan yang masih diingat penulis disamping banyak fakta lain khususnya fakta fakta seputar Pilkada DKI di tahun 2016 hingga 2017 dimana bahkan segregasi ekstrim dilakukan juga pada sesama muslim. Hal yang mau tidak mau mengingatkan kita pada permusuhan ekstrim sesama umat Islam yang terjadi di Suriah antara para pendukung ISIS dan penolak ISIS. Embrio dengan model yang sama sudah tumbuh di negeri ini, jika dibiarkan sangat mungkin nasib NKRI akan serupa dengan nasib beberapa negara di Timur Tengah tersebut. Sangat kuat terindikasi bahwa Anies Baswedan didukung oleh kelompok-kelompok pendukung negara khilafah. Usaha menyatukan mas Ganjar Pranowo dengan mas Anies Baswedan dengan maksud agar terjadi rekonsiliasi nasional, menurut hemat penulis tidak mungkin terjadi karena kutub Pancasila tidak mungkin berekonsiliasi dengan kutub khilafah.

Tentu saja aspirasi politik Islam akan terus hidup di negeri ini dalam bingkai Pancasila. Dan itu sudah terjadi sejak negara ini berdiri dan akan terus berlangsung selama negara Pancasila ini eksis. Sistim nilai Islam yang ada dalam ruang privat agama dapat ditransformasi menjadi sistem nilai publik dan menjadi regulasi negara. Itulah hakekat perjuangan politik partai partai Islam, tanpa harus memaksakan sseluruh syariat menjadi kontitusi negara menggantikan UUD 1945 dan khilafah menjadi dasar negara menggantikan Pancasila. Jika aspirasi politik agama diperjuangkan dengan prinsip ini, perbedaan opini bisa saja terjadi dan umat Islam tetap dapat dimobilisasi oleh partai-partai Islam tanpa melakukan segregasi ekstrim berdasarkan agama. Karena semuanya akan bermuara pada keadaban publik yang memberi manfaat bagi seluruh waga negara Indonesia. Aspirasi Islam yang diperjuangkan demikian sangat mungkin akan juga didukung oleh WNI non muslim.

Mayoritas warga negara Jerman adalah penganut Kristen dan disana ada dua partai Kristen yang termasuk dua partai besar negeri itu: CDU (Partai Kristen Democrat) dan CSU (Partai Kristen Sosial). Tentu saja dua partai ini memperjuangkan nilai nilai Kristiani agar bisa berkontribusi pada regulasi negara yang memberikan manfaat publik tanpa perlu melakukan segregasi ekstrim berdasarkan agama. Sistim jaminan sosial di Jerman yang termasuk terbaik di dunia sangat boleh jadi merupakan artikulasi publik dari nilai nilai Kristiani tanpa harus menjadikan Alkitab menjadi konstitusi Jerman. Sistem jaminan sosial tersebut tentu juga memberi manfaat bagi komunitas muslim Turki yang hidup di Jerman. Karena itu kerja sama antara dua partai ini dengan SPD yang mengusung ideologi sosial demokrat dapat berjalan dengan baik dan berpijak pada rasionalitas untuk membangun kesejahteraan umum (bonum communae). Kini dinamika politik di sana lebih variatif karena muncul beberpa partai baru seperti Partai Hijau (partai lingkungan dan partai lainnya). Tentu saja negara Jerman juga punya masalah lain dengan munculnya kelompok politik ekstrim kanan (rechts radicale) yang ultra nasionalis dan membenci kelompok imigran. Tentu hal itu menjadi tantangan dunia politik Jerman yang harus dihadapi oleh partai partai lain.

Keprihatinan ketum Nasdem akan potensi perpecahan bangsa adalah wajar namun solusinya dengan mencoba manduetkan mas Ganjar dengan mas Anies sepertinya bukan merupakan solusi, bahkan bisa membawa pada kompleksitas problem yang lebih serius bagi keberlanjutan negara proklamasi 1945 berdasarkan Pancasila.

Dengan alasan untuk menjaga persatuan bangsa, bapak bangsa dan proklamator kita bung Karno pernah menciptakan Nasakom. Suatu konsep politik yang mencoba menyatukan kelompok politik nasionalis, agama dan komunis. Pidatonya soal ini bahkan diberi judul “Nasakom adalah Kebenaraan”. Pilar nasionalis, agama dan komunis disatukan dalam prinsip ini dengan alasan utama untuk menjaga persatuan bangsa. Beliau mungkin terlewat untuk  mempertimbangkan bahwa secara prinsip komunis bertentangan dengan Pancasila dan menyatukana dua hal tersebut adalah suatu kemustahilan. Dan bahwa antara keduanya hanya terdapat pilihan biner: yes or no to be or not to be. Sejarah kita telah mengajarkan kita bahwa konsep nasakom ini kemudan membawa kita pada era demokrasi terpimpin, pecahnya dwi-tunggal Soekarno-Hatta dan juga membawa kita ke tragedi G30S PKI yang mengakhiri kepemimpinan nasional Soekarno. Ini fakta kelam dalam sejarah kita, ketika demi persatuan nasional kita melupakan beberapa hal prinsip yang menjebak kita pada pilihan pilihan biner.Suatu titik dalam sejarah yang agak menodai kemuliaan dan kemegahan kepemimpinan proklamator tercinta Bung Karno.

Semoga tragedi itu tidak kita ulangi lagi. Semoga.

 

Ignas Iryanto, pegiat literasi digital

 

#WarasBernegara

#SayaSPARTAN

 

Sumber:

https://nasional.kompas.com/read/2022/06/27/13234941/duet-ganjar-anies-diusulkan-untuk-pilpres-ganjarist-kasihan-pak-ganjar?page=all

https://news.detik.com/berita/d-6147273/pakar-beberkan-alasan-duet-pemersatu-bangsa-anies-ganjar-sulit-terwujud

 

 

 

Exit mobile version