Tri Swaka dan Zindin adalah kasus yang menarik. Kita perlu belajar dari kasus mereka jika ingin jadi warganet yang cerdas bersosmed.
Indonesia mungkin bukan satu-satunya tempat paling pantas menjadi panggung pembuktian tentang dahsyatnya dampak penggunaan media sosial. Gara-gara media sosial digital, seseorang bisa melambung ke langit tinggi menggetarkan dunia dalam hitungan kerjapan mata, namun di saat lain bisa sebaliknya menghempaskannya kembali ke darat hingga remuk tak berbentuk, Namun, Indonesia patut dimasukkan ke dalam kelompok kawasan yang paling sering mempertontonkan fenomena itu.
Di Indonesia, sudah tak terbilang dengan jari jumlah figur yang tenar dalam sekejap. Perbandingan untuk hal sebaliknya juga tak kalah banyak. Kesemua itu membuat kita terpaksa menyimpulkan bahwa medsos adalah dunia yang ‘high yield, high risk’. Risiko penggunaannya setinggipotensi manfaat yang mungkin akan didapatkan.
Karena demikian keadaannya, menggunakan medsos itu sebetulnya tidak bisa sembarangan. Namanya juga media sosial maka itu pasti terkait dengan orang lain. Jika di dunia nyata saja kita dituntut untuk menaati kesantunan tertentu dalam berhubungan sosial dengan orang lain, seharusnya demikian pula dalam penggunaan media sosial digital.
Sayang sekali bahwa kebanyakan masyarakat pengguna media sosial di tanah air kerap terjebak dalam paradigma keliru mengenai akun media sosialnya. Kerap kali, karena merupakan pemilik, seseorang lantas merasa berhak melakukan apa saja terhadap dan melalui akun media sosialnya termasuk pula merugikan orang lain. Paradigma seperti itu tentu saja bisa mengakibatkan hal yang fatal.
Maka, kembali ditegaskan bahwa menggunakan media sosial digital tidak bisa sembarangan, butuh seni dan teknik tertentu. Untuk itu, program dan kebijakan penyelenggaraan literasi digital yang ditawarkan Kementerian Kominfo di era Johnny Plate saat ini patut disambut antusias oleh seluruh lapisan masyarakat. Program itu konon menawarkan secara gratis sejumlah kursus yang harus diikuti apabila ingin piawai memanfaatkan tekhnologi digital dalam bermedia sosial, termasuk mengasah skill dan kemampuan penunjang karir.
Belajar dari Kasus Tri Swaka dan Zindin
Tri Swaka adalah kisah sosok yang mendadak artis. Mengawali karir dari menjadi pengamen di kafe-kafe di Jogja yang diabadikannya di kanal youtube, belakang hari dia pun ngetop sebagai artis youtuber dengan pendapatan fantastis. Dalam perjalanan, duetnya dengan Zindin Zidane kerap kali viral lewat lagu-lagu cover yang mereka bawakan.
Dikutip dari unggahan sebuah akun di instagram, konon Tri Swaka kini kebanjiran order manggung dengan tarif sekali tampil 50 jutaan rupiah bersih untuk dirinya sendiri belum termasuk buat krunya yang berjumlah 8 orang. Ini tentu merupakan penghasilan yang tergolong fantastis dari menyalurkan hobby bernyanyi. Seandainya media sosial digital belum ada, sosok Tri Swaka dan teman duetnya tentu tak akan tenar. Tidak tenar, tentu tak banyak job manggung yang mampir.
Petaka kemudian menghantam. Tak bermaksud untuk “menye-menye” ke artis senior Andika, live show Tri Swaka dan Zindin di tiktok dan bigo kala membawakan lagu Kangen Band oleh sebagian besar netijen dipersepsikan sebagai mengejek. Terlihat sepele tapi ternyata fatal. Kesan kesepelean itu setidaknya tertangkap dari tanggapan Zindin ketika aksi mereka itu dihujat sejumlah netijen. Merasa diri sudah besar oleh medsos sampai lupa bahwa medsos juga adalah racun pemati karir apabila tak sigap disikapi tatkala berhadapan dengan netijen.
Apalagi jika yang dihadapi adalah netijen Indonesia yang terkenal sadis kalau menghakimi seleb medsos. Benar saja, tak lama setelah terbitnya tanggapan Zindin yang kebaperan, netijen bukannya mengalah, malah makin galak. Sebab, tak lama setelah itu Zindin mereka bully rame-rame dengan plesetkan suaranya sedemikian agar terhina.
Kiat untuk Tetap Eksis Jadi “Netizen Darling”
Sepertinya, sampai di titik itu, Zindin dan Tri Swaka baru sadar kalau mereka bukan lagi siapa-siapa kini. Sekarang saat artikel ini ditulis, keduanya masih sibuk ke sana ke mari menggelar klarifikasi dan permohonan maaf, sebuah tindakan yang belum tentu akan mengembalikan mereka ke panggung ketenaran semula.
Tri Swaka dan Zindin lupa bahwa bahkan Roman Kamaru, artis “bikinan” netijen, tanpa berlaku buruk atau tidak sopan di muka umum sekalipun bisa redup nyaris tak berbekas, apalagi bila bertingkah tengil seperti yang menjadi petaka mereka.
Di mana-mana, artis yang lahir dari ketenaran di medsos terjadi karena momentum dan hoki, tidak karena kelebihan yang dimiliki. Yang lebih berbakat dari Tri Swaka, Zindin dan Roman Kamaru itu banyak, tapi mereka tak punya momentumnya, hokinya juga kurang. Maka, idealnya bagi mereka yang lahir dari sebuah keberuntungan (momentum), senantiasa memantaskan diri untuk tetap jadi ‘netizen darling”, kekasihnya warganet.
Bagaimana itu diwujudkan? Jika kerendahan hati bukanlah ilmu hasil belajar, setidaknya seni dan keterampilan menjaga citra diri di panggung medsos patut dilihat sebagai ilmu yang mesti dipelajari. Atau kalau tidak, memanfaatkan program Literasi Digital yang ditawarkan Kominfo perlu dilihat sebagai peluang mendapat kualifikasi diri untuk tetap berkualitas tatkala jadi seleb di medsos. Tenar di udara (baca: medsos) itu bagai terbang dengan balon. Sekali balonnya terluka, ancaman terhempas seketika tercipta.
Demikian, karena kita tidak tahu kapan giliran kita tiba untuk viral, sebaiknya selalu awas dalam memelihara sikap rendah hati dan respek ke sesama. Ini akan membantu kita terbiasa untuk menjadi netizen darling saat panggung ketenaran akibat viral itu datang menghampiri. Sayang bila alami nasib seperti Tri Swaka dan Zindin, tenar karena cover, tepar karena baper. (*)
_____
*Aven Jaman, Pegiat Literasi Digital, pelontar tagar #WarasBernegara, #SayaSpartan